55. Perjalanan di Gurun Thian San

1.6K 29 0
                                    

Setelah delapan tahun berlalu maka datanglah pula bulan kesembilan awal musim rontok yang sama, saat dari musnahnya rumput-rumput di tanah perbatasan.

Ketika itu di dataran berumput di selatan gunung Thian San tampak datang seorang penunggang kuda, dengan kudanya berbulu putih mulus. Seorang nona bangsa Han.

Ia justru mengambil jalan yang diambil Lie It waktu dulu itu, ia menerjang angin dan pasir, ia mengayun cambuknya melarikan kuda tunggangannya itu.

Ia tampak lincah, pandai caranya menunggang kuda, tetapi pada parasnya nampak cahaya suram, tanda dari kedukaan.

Maka diantara suara sang cambuk, sering terdengar helaan napasnya

Dengan tiba-tiba saja terdengar seorang berseru nyaring : "Hai, wanita ! Hentikan kudamu!"

Di sana debu pasir mengepul, terdengar tindakan kaki dari banyak kuda, yang lari bagaikan terbang, maka segera tibalah empat penunggang kuda, tiba di depan si wanita.

Maka terdengarlah bentakannya yang bengis itu.

Si nona menghentikan kudanya, lantas dengan sinar matanya ia menyapu keempat orang itu. la melihat empat busu bangsa Turki (suatu suku bangsa Hsiungnu).

Seorang diantara mereka itu lantas membeberkan sehelai gambar dari kulit kambing, dia memandang ke gambarnya itu dan kepada si nona bergantian.

Kota itu wilayah barat daya dari Tiongkok, termasuk selatan dan utara gunung Thian San, berada di bawah pemerintahan kerajaan Turki yang kuat dan makmur, hingga kegarangan serdadunya tersohor sekali.

Maka adalah lumrah saja empat serdadu Turki tampak mengejar seorang nona di padang rumput ini.

Selagi si nona keheran-heranan, salah seorang serdadu yang berewokan bertanya kepadanya : "Apakah kau datang dari wilayah kerajaan Tong yang agung?"

Ditanya begitu, si nona tesenyum.

"Sekarang ini Tiongkok bukan lagi negaranya Kerajaan Tong yang agung !" sahutnya. "Dan aku datang dari negara Kerajaan Ciu yang besar !"

Bu Cek Thian menggulingkan pemerintahan kerajaan Tong dan mengganti namanya menjadi kerajaan Ciu, hanya karena dia membangun kerajaannya belum lama, maka wilayah-wilayah asing di luar perbatasan belum mengetahuinya dan mereka tetap menyebut Kerajaan Tong seperti biasanya.

"Aku tidak perduli kerajaan Tong atau kerajaan Ciu !" kata busu itu. "Aku cuma tahu kau datang dari Tiongkok ! Benarkah?"

"Tidak salah !" si nona menyahut. "Kamu mempunyai urusan apa ? Lekas bicara ! Aku hendak segera melanjutkan perjalananku!"

"Hm....! Tidak dapat kau pergi lebih jauh! Ayo cepat ikut kami menghadap khan kami yang agung !"

"Apakah aku melanggar undang-undang negaramu ? Apakah siapa yang datang dari kerajaan Tong, dia harus ditangkap ?"

"Kau tanyakan itu kepada khan kami yang agung nanti! Bagus, ya ! Kau berani melawan ? Kau mau turut atau tidak ?"

Sepasang alisnya si nona terbangun, lalu dia tertawa lebar.

"Katanya rakyat negaramu sopan dan santun, kamu justeru tidak memakai aturan !" dia membentak.

"Jikalau mau bicara tentang aturan, pergi bicara sama khan kami yang agung !" berkata pula si berewokan sambil tertawa dingin. "Hm.....! Apakah kau masih tidak mau turun dari kudamu ?"

Pendekar Aneh (Lie Tee Kie Eng) ~ Liang Ie ShenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang