Terkadang kita harus merasa sakit untuk melihat orang yang kita sayangi bahagia. -Taufik
--
"Tadi kumpulan kelas Jieyo" ucap Reva diperjalanan setelah pergi dari kantin.
Raka mengangguk dan tersenyum.
"Dia yang mukulin lo?" Lanjut Reva dengan pertanyaan.
Raka menggeleng dan tersenyum lagi. Reva langsung menatap dengan tatapan mengintrogasi. "Terus yang mana?" Tanya nya masih dengan penasaran.
Raka tersenyum lagi, "Ga penting" akhirnya Raka membuka mulutnya untuk berbicara.
Reva mendengus kesal dan mencibirkan bibirnya, "Buat gue itu penting!" Pekiknya.
"Wah lo khawatir tuh sama gue" Raka meledeknya dan disusul tertawa kecil.
Reva memelototkan matanya ke arah Raka, "kepedean lo". Raka hanya tertawa melihat mimik muka Reva yang terlihat kesal.
Reva menatap Raka sekilas dan mengembalikan pandangannya ke depan lagi, "Jawab gue, Rak. Siapa yang mukulin lo?"
Raka menoleh dan berkata, "kan gue pernah bilang, gue ga tau namanya"
Mereka sudah ada di taman belakang sekolah, taman yang belakangan ini hanya dikunjungi oleh Reva dan Raka. Siswa lain jarang bahkan sudah tidak ada yang kesini, entah apa sebabnya, tetapi Raka dan Reva masih sering kesini, untuk sekedar menenangkan diri,
Raka dan Reva sudah duduk taman dan menatap danau didepannya, "Maafin gue, Rak" Reva berujar lemah dan menunduk.
Raka mengeryitkan dahinya, "untuk?" Tanya nya singkat.
"Karna gue, lo jadi di keroyok sama Jieyo dkk"
Raka tertawa matanya menatap perempuan disampingnya yang masih menunduk, "Hahahaha. Kalo lo ngerasa salah berarti lo khawatir sama gue"
Reva menghela nafasnya panjang, "terserah lo ya. Gue cuma ngerasa ga enak sama lo!"
Raka tersenyum simpul, "Gue seneng kalo lo beneran khawatir sama gue" Ucapnya pelan.
Reva sontak menoleh kaget, Raka memang berucap pelan namun suaranya masih terdengar dan membuat Reva kaget. "Maksudnya apa, Rak?"
--
Taufik masih menatap pandangan didepannya kesal. "Gue capek pura-pura baik" Gumam Taufik semakin tak berdaya.
Taufik kini berada di atap sekolah, tempat dimana biasa ia melampiaskan kekesalannya. Dan saat ini ia benar-benar merasakan kesal yang mendalam. "Gue benci jadi orang baik!" Taufik menggeram.
"Terlambat Fik. Apa yang bisa lo sesalin sekarang?" Taufik menoleh ke belakang, dan ia dapati Dinda sedang menghampirinya, Dinda kini duduk disampingnya, memandangi Taufik dengan intens, "Gue sering bilang sama lo. Ga ada salahnya buat ungkapin perasaan duluan, soal diterima atau ditolak itu urusan belakangan, yang penting dia tau akan perasaan yang selama ini lo pendam" Dinda menepuk bahu Taufik yang sedang menunduk dan menopang dahinya dengan kedua tangan.
Taufik mendongak dengan raut wajah yang menyesal. "Gue cuma takut dia malah menjauh, Din" ucap Taufik parau.
"Terkadang kita dikuasai rasa takut yang berlebihan sebelum mengungkapkan semuanya, dan sekarang lo cuma bisa ngeliat dia dari kejauhan" Dinda menghela nafasnya sebentar, "belum terlambat Fik buat ungkapin semuanya" sambung Dinda lagi.
"Terlambat Din! Semua terlambat, kenyamanan Reva udah direnggut. Gue nyesel Din" Ucapnya lemas.
"Ga ada kata terlambat sebelum mencoba, Fik"
KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasia Cinta
Teen Fiction[SELESAI] [Proses Editing] Ini bukan suatu kebetulan. Bisa dikatakan ini Takdir. Takdir menemukannya lagi. Lagi yang dulu pernah terpisah. Kata orang 'kesempatan kedua ga akan bisa sama dengan awal perkenalan'. Tapi aku ga percaya. Aku yakin ini tak...