Reva masih berdiam, mencari jawaban yang harus ia ucapkan, bahkan saat dirinya sendiri pun bertanya dia tak tahu harus menjawab apa, "Lo kok diam aja sih?" Suara Taufik berhasil membuat Reva tersadar dari lamunannya.
Reva tersentak kaget dan menjawabnya asal, "Gue gak suka!" Reva berusaha menenangkan keadaan pada dirinya.
"Lo masih gak terbuka sama gue!" Taufik mengatakannya dengan kecewa.
Gue tau ini terlalu munafik buat gue, batin Reva berucap.
"Kalo gitu gue balik ke kelas ya?" ucap Taufik melemah.
"Lo gak marah 'kan sama gue?"
Taufik tersenyum padanya, "Gak kok, gue bisa ngerti itu semua," ucap Taufik kemudian pergi meninggalkan Reva.
Reva kembali duduk dan menatap langit di depannya, ini cukup indah untuk ia pandang, hatinya sesekali meringis saat mendapati pertanyaan seperti tadi. Jangankan untuk menjawab, untuk jujur kepada dirinya saja Reva tak sanggup, bagaimana nantinya kalau ia benar-benar menyukainya? Apakah ia siap untuk terjatuh lagi? Atau siap untuk patah hati kembali? Reva sudah memikirkan hal itu, bahkan sejak kepergian Bintang secara mendadak membuatnya menutup hati untuk siapapun, lantas mengapa saat Raka masuk ke dalam hidupnya, benteng pertahanan yang telah dia bangun bertahun-tahun akan runtuh begitu saja. Reva tak bisa jika hatinya terus menerus menahan pilu. Pilu akan kerinduan untuk seseorang yang hanya ia ingat namanya, yaitu Bintang.
"Kamu itu kayak bulan ya. Selalu setia menemani bintang, meski saat mendung tiba, bintang gak pernah hadir disitu. Jadi aku minta maaf sama kamu, karena aku kadang gak ada disaat kamu sedih."
Pilu. Itulah yang Reva rasakan saat mengingat kata demi kata yang selalu di lontarkan Bintang saat ia sedih. Tapi kini, Bintang telah pergi, meninggalkan kenangan dan luka.
------
Bel pulang sekolah telah berbunyi, siswa siswi segera berhamburan keluar. Banyak dari mereka yang pulang mengendarai sepeda motor, namun hanya sedikit siswa yang membawa mobil ke sekolahnya, termasuk Reno, Jieyo, Alzy dan Delon. Hari ini Reva tidak membawa motor seperti biasanya, Reva mengendarai sepeda gunung milik Rafi yang ia pinjam tadi pagi.
"Bang? Aku mau pinjem sepeda Abang ya?" Izinnya.
"Sekolah pakai sepeda? 'Kan ada motor Rev?" Tanya nya heran.
"Aku males bawa motor Bang, ya aku minjem yaaa... pleaseeee" pintanya secara terus menerus.
Dengan nafas panjang, akhirnya Rafi meminjamkan sepedanya kepada Reva, "Baiklah, tapi pakainya hati-hati. Kunci sepeda ada di laci ruang tamu."
"Oke bang!"
Entah mengapa sikap Reva kepada Rafi selalu manis, beda rasanya dengan Reno. Bahkan belakangan ini ia sering menganggap bahwa ia hanya mempunyai satu saudara kandung laki-laki, yaitu Rafi Anggara.
Reno? Jangan menanyakan Reno bagaimana? Reno telah bahagia dengan teman dan pacarnya, belakangan ini sulit rasanya Reva memulai kontek dengan Reno, Rafi tengah mengetahui semua masalah Reno dan Reva, tetapi untuk kali ini, Rafi masih mendiami nya, sampai akhirnya keduanya merasakan salah dengan apa yang mereka lakukan.
Rafi selalu ada di sisi Reva, begitupun Taufik. Keduanya seperti mempunyai ikatan batin tersendiri.
Reva segera bergegas pulang, menggunakan sepeda, membelah jalanan Bandung dengan sepeda yang sudah lama tak ia kendarai.
Reva berhenti sejenak di gedung sate, berniat untuk menikmati ketoprak kesukaannya, ketoprak Kang Kasim. "Kang ketoprak satu ya." pesannya seperti itu.
Reva duduk di kursi yang kosong untuk menunggu ketopraknya, ia mengambil ponsel dari saku bajunya. Matanya terbelalak saat membaca pesan singkat bertuliskan nama Raka.
Raka: Lo gapapa kan Rev?
Tetapi niat untuk membalas pesan singkatnya ia urungkan, karena kemarin, hari ini dan entah sampai kapan, Reva akan tetap kesal dengan sikapnya yang berubah-ubah. Tapi hatinya seolah menasihati bahwa untuk tetap tersenyum dan baik kepadanya. Seolah hatinya berkata "Raka baik. Jangan kau acuhkan dia!!" Perintah sang hati. Namun disisi lain logika menentang perkataan sang hati tersebut "Dia tak baik, jika dia baik dia tak akan bersikap dingin kepadamu!" Entahlah. Reva hanya hidup dengan satu raga, tapi seolah semua yang ada di dalamnya beropini beda.
Ketoprak pesanannya datang, ia langsung memasukkan ponselnya kedalam saku bajunya.
Mulutnya melahap pelan ketoprak yang ia pegang, sampai tiba-tiba kursi di dekatnya diisi oleh orang yang langsung mendudukinya tanpa meminta izin seseorang disampingnya, Reva.
Reva menoleh cepat ke arahnya, dan ia dapati sosok yang pernah ia lihat sebelumnya, Reva terus memandangnya sampai lelaki tersebut menoleh cepat ke arah Reva dan matanya terbelalak, "Nada kan?" Reva tersentak, hampir saja piring yang ia pegang ingin terjatuh, untung ia bisa menahannya. Bagus kalau tidak pecah. Uang ganti rugi pun tak melayang. Reva masih memandangnya, memperhatikan tiap postur tubuhnya, dan akhirnya ingatannya pulih kepada lelaki disampingnya tersebut, "Kak Arka?". Iya. Memang benar. Lelaki yang duduk disampingnya kini ialah Arka. Kakak Raka.
"Kamu suka makan disini?" Tanya Arka.
Tunggu. Kamu? Bukankah kemarin Arka menggunakan bahasa Gue - lo dengan Reva. Ada apa ini?
"Engga juga Kak." Ucapnya canggung.
"Kamu kesini naik apa?"
"Naik sepeda Kak, tuh!" Reva menunjuk sepeda yang ia parkirkan dekat bangku nya.
"Loh emang motor kamu rusak lagi?"
"Enggak kak, cuma mau naik sepeda aja."
Arka mengangguk - anggukan kepalanya, mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Reva.
Reva masih melahap ketoprak yang ada di depannya. Tanpa memperdulikan pandangan Arka terhadapnya.
Akhirnya Reva telah menghabiskan sepiring ketoprak dan bergegas pergi. Entah apa rasanya, saat di dekat Arka ia merasa tidak nyaman, ia merasa ada yang mengganjal di pikirannya. Entah apa? Itu hanya perasaan yang bisa mengungkapkan.
"Kamu buru-buru banget sih?" Tanya Arka.
"Mm... aku ada janji sama teman Kak."
Tanpa menunggu jawabannya, Reva langsung bergegas pergi meninggalkan warung ketoprak dengan sepedanya. Ralat. Sepeda Rafi.
------
Reva sampai di suatu taman, disana sudah ada Taufik. Sebelumnya memang Reva sudah janjian dengan Taufik, bukan hanya Taufik tapi Dinda juga, tetapi sayangnya Dinda mendadak ada urusan. Siapa lagi jika bukan dengan Farel, sang pujaan hatinya?
Reva segera menghampiri Taufik yang duduk sendirian, Reva berniat memukul pundak Taufik, namun niatnya gagal karena Taufik mengetahui keberadaan terlebih dahulu. "Mau ngapain sih Rev?" Ucapnya memutar bola matanya malas. Memang nampaknya Taufik sudah mengetahui niat Reva tersebut.
Reva segera duduk di samping Taufik, dan memelas menghadapinya, "Udah deh, muka lo udah jelek. Jadi gue mohon jangan ditambahin jelek." Ucapnya malas. Reva mendelik kesal dan memutar langsung posisi duduknya.
"Tadi gue dapet sms dari Raka, Fik." jelasnya.
"Gimana smsnya?"
Reva mengasih tahu ponselnya ke Taufik.
"Dia perduli sama lo." ucap Taufik dengan tenangnya.
"Lalu?" Tanya Reva heran.
"Lo juga harus perduli sama dia." Entah mengapa hari ini, Reva merasa ada keganjalan di benaknya tentang nada bicara Taufik, memang Taufik biasanya bicara dengan nada santai atau tenang, namun beda halnya ini, Reva merasa nada tenangnya Taufik berbeda. Ada apa? Atau hanya perasaan Reva saja?
Entahlah. Kata itu lagi yang terucap.
--
KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasia Cinta
Teenfikce[SELESAI] [Proses Editing] Ini bukan suatu kebetulan. Bisa dikatakan ini Takdir. Takdir menemukannya lagi. Lagi yang dulu pernah terpisah. Kata orang 'kesempatan kedua ga akan bisa sama dengan awal perkenalan'. Tapi aku ga percaya. Aku yakin ini tak...