Prologue

1.2K 223 198
                                    

Seoul, South Korea;—October 2016.

Di matanya, semuanya seakan bukanlah hal yang adil. Ketika sekelilingnya ramai dengan riuhnya mulut yang megap-megap berbicara, seisi jiwanya hening. Ketika semua orang menatap lurus ke arahnya, kedua obsidiannya hanya menatap kosong apa yang ada di hadapannya. Ketika ratusan mulut itu ramai menghujat pertanyaan, sang penerima hujatan itu justru bungkam termakan hening jiwanya. Semua orang mengalihkan perhatian padanya, tetapi ia justru menolak dan memilih untuk mengabaikan segalanya.

Dibalik topeng yang menutupi setengah wajahnya, hendaklah mata itu menangis. Menumpahkan segala perasaannya dalam satu ungkapan dan tanggapan. Tapi, siapa yang mau peduli? Bahkan orang yang duduk sejajar dengannya memilih untuk tidak peduli.

Gadis itu memejamkan matanya perlahan. Hidup ini memang seluruhnya tidak adil. Segalanya yang harfiah tiba-tiba berubah menjadi irasional. Ayolah, dosa apalagi yang telah dibuatnya hingga mendapatkan kesialan yang membuatnya nyaris mati berkali-kali?

Dalam setiap helaan nafasnya kini tidak bersisa lagi sebuah kesenangan. Kesenangan itu habis termakan oleh jutaan perasaan sakit dari segala kesialan itu. Bodohnya, kesialan itu datang semata-mata sebagai konsekuensi atas kebaikan yang dilakukan. Lalu, apa yang salah dalam dunia ini? Apakah dunia ini sudah berbanding terbalik dengan hakikatnya?

Agaknya, muka punggung gadis itu kini menyandarkan segala dayanya ke sandaran kursi di belakangnya. Perlahan, ia menghela nafasnya yang bergetar akibat gugup. Napasnya berhembus keluar pada saat itu juga di mana ia mulai memikirkan hal-hal yang cenderung berorientasi ke depan.

Seharusnya ia memang harus tahan peluru menghadapi apa yang keluar dari pistol yang ditarik pelatuknya. Tetap menguatkan diri seraya membiarkan luka itu membekas dan sembuh sendiri. Dengan mudah, asumsikan saja segala hal ini semata-mata ajaran bagi hidupnya yang akan datang. Toh, hal semacam ini akan dengan cepat berlalu. Setelahnya, semuanya akan berjalan dengan normal. Tidak perlu terlalu dikhawatirkan.

Laki-laki di samping gadis itu bahkan terlihat baik-baik saja. Ia dengan tenang menjawab segala hujatan pertanyaan yang setiap butirnya berhasil membuat keringat menetes di balik tengkuk gadis itu. Wajar dan santai saja baginya. Jelas, dia itu seorang entertainer. Hal semacam itu tak perlu dipertanyakan diragukan lagi.

Baiklah, Hyerin. Setidaknya mungkin setelah ini semuanya akan segera selesai.

"Sudah kukatakan. Gadis di sampingku ini semata-mata korban dari peristiwa yang sudah ku katakan sebenar-benarnya tanpa apapun yang harus kututupi," jelasnya dengan raut serius, "kalian sebagai rekan pers tidak perlu menghebohkan masalah kecil ini. Kalian hanya membuang waktu saja. Para fans kami, ARMY, juga... tahu kebenarannya, kan? Kalian tidak perlu khawatir. Masalah seperti ini tidak akan terjadi lagi."

Tanpa sadar gadis itu mengangguk, mengingat status yang disebutkan itu juga status miliknya, fans—penggemar. Hanya penggemar.

"Pesanku hanya satu. Cobalah kalian mengerti bagaimana dunia hiburan ini berjalan dengan sesungguhnya. Suatu hal kecil saja dapat menimbulkan masalah besar seperti ini. Terkadang kita memang harus membuka logika kita di antara perasaan yang kita rasakan," tambahnya.

Sekali lagi, gadis itu mengangguk. Ucapan laki-laki itu sepenuhnya benar. Terlebih, perempuan itu sendiri pernah mencecap hal yang digambarkan laki-laki itu.

Seseorang di ujung bangku berdeham. Pria bertubuh besar dengan wibawanya, Bang Sihyuk, kepala dari Big Hit Entertainment. "Kukira penjelasan yang kami jabarkan sudah lebih dari cukup. Kami telah mengkonfirmasi hal-hal yang sebenarnya terjadi.

"Di sini, Suga BTS berposisi untuk menolong korban yang menjadi salah sasaran sasaeng. Tidak ada hubungan yang lebih serius, dari mereka yang tidak saling mengenal sebelum semua ini terjadi," ulangnya.

"Dengan begini, maka konferensi pers kami tutup sampai di sini."

Semua orang di hadapan keempat orang itu kembali riuh menimpakan sinar blitz pada mereka. Keempat orang dibalik meja panjang itu membungkuk sebelum meninggalkan aula.

Gadis itu, Hyerin, beranjak dari tempatnya. Ia menyibakkan roknya pelan, lalu mengikuti jalan orang-orang yang berdiri di balik meja sesuai alurnya.

Hyerin sesekali mengintip punggung laki-laki di depannya. Dengan beribu pertanyaan yang ingin dilayangkannya ;

Haruskah ia mengucapkan selamat tinggal? Bukankah setelah ini, segalanya akan usai? Hyerin dan idola itu akan kembali menjalani hidupnya masing-masing. Seandainya mereka kelak akan bertemu tanpa sengaja, mereka mungkin hanya sekedar bertegur sapa biasa dan kembali fokus pada kehidupannya masing-masing.

Entahlah, setidaknya perkiraan yang paling sederhana seperti itu. Hyerin tidak pernah tahu, justru dari sanalah segalanya yang tidak pernah diharapkan Hyerin dimulai.

Dimana dalam arti lain, Hyerin mesti memperkuat apa yang sudah ia pertahankan.

Because, with you, everything should be bulletproof.

To be continued.

▪▪▪▪

Because, you barely read this, please ;
+add to library (for more updates) dan kalau suka silahkan +add to reading list.

Ahaa~ jangan lupa follow aku, bakal di follback, kok💙

Karena aku baru selesai revisi buku ini lagi, jadi tolong isi part-partnya dengan komenan lagi, ya, biar gasepi aja gitu kayak kehidupan jomblo. Hwehew😋

Meet urxx,
🌜Ree

Bulletproof [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang