Sebuah panggilan itu terputus sepihak dengan mudahnya. Helaan napas Yoongi melenguh begitu panjang. Ia kehabisan kata-kata entah di ujung hatinya atau bahkan dalam benaknya. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa sikap Hyerin akan berubah sedrastis ini. Yoongi berusaha mengerti persepsi gadis itu soal hubungan. Tetapi Yoongi tidak mengerti dengan apa yang mesti dilakukannya dengan hal itu.
Hyerin boleh trauma dengan banyak kejadian malang yang menimpanya, tetapi membohongi diri sendiri justru akan menyakiti dirinya sendiri. Setidaknya, begitu sepemikiran Yoongi. Pun, pria itu enggan membuat gadis itu terjatuh untuk yang kesekian kalinya hanya dirinya seorang. Sudah entah keberapa kalinya Yoongi mengutuk dirinya sendiri atas takdir yang membawanya menjadi memiliki nama yang sebesar ini. Kian besar namanya, kian banyak pula orang yang disakitinya.
Dengan sekelibat pemikiran itu, Yoongi kembali dihantui oleh overthinking yang telah menjadi makanan sehari-harinya sejak beberapa tahun yang lalu. Pandangannya meremang ke arah langit-langit kamarnya. Hingga-hingga tak terasa bahwa seluruh bidang wajahnya memanas, di pelupuknya juga turun air mata yang menganak sungai.
Rasa-rasanya untuk Yoongi sulit sekali lepas dari lingkaran setan itu. Lingkaran yang mengungkungnya dan tak membiarkannya sedikit saja untuk beristirahat dari kesengsaraan. Kian dipikirkan, rasanya semakin membebani kepala dan kedua pundaknya.
Kalau menangis untuk para lelaki bukanlah suatu hal yang jantan, makan Yoongi akan rela mengakui bahwa dia tidak seratus persen jantan. Menangis adalah caranya untuk merenungi segala sesuatunya yang bergumul di dalam benaknya, untuk kemudian merasa lebih baik. Kendati mungkin tidak ada satu usaha pun yang dilakukannya, tetapi menangis betul-betul membuat setiap orang tenang.
Yoongi nyaris terhanyut dengan situasinya hingga-hingga suara ketukan pintu kamarnya terdengar jelas. Mengisi satu kamarnya, hingga merusak suasana yang melamun Yoongi bulat-bulat. Ketukan pintu itu tak kunjung berhenti dengan suara Jimin yang memanggil,
"Hyung! Kau di dalam? Hyung!"
Jimin tak juga berhenti mengetuk-ngetuk pintu seraya memanggil nama Yoongi berkali-kali. Mau tak mau, Yoongi mesti sekuat tenaga menyembunyikan wajah sembap dan luapan emosinya untuk membukakan pintu.
Yoongi yang membuka pintu dengan wajah sembap segera disambut dengan kalimat,
"Hyung! Apa kau punya- astaga. Kau menangis?" tanya Jimin seraya memerhatikan wajah Yoongi baik-baik.
Tangan Yoongi melambai-lambai berusaha menepis pertanyaan Jimin. "Ani... Punya apa?"
"Tidak jadi... Tidak penting. Setelah melihatmu begini...," jawab Jimin masih memerhatikan wajah Yoongi.
"Aish...." Yoongi mengusak-usak kepalanya frustasi. "Ya sudah, kalau tidak jadi." Yoongi akan menutup pintunya, tetapi tangan Jimin menghalanginya.
Kata Jimin seraya masuk ke dalam kamar Yoongi, "Kalau begitu, aku mau tidur di kamarmu."
"Ya!" protes Yoongi begitu Jimin menduduki kasur Yoongi.
"Waeyo? Apa karena latihan tadi sore? Siapa yang kau temui?" tanya Jimin dengan banyak pertanyaannya.
Yoongi kembali mengusak-usak kepalanya. "Ah, sudahlah. Jangan ganggu. Aku mau tidur."
"Hyerin?"
Begitu mendengar nama itu Yoongi terdiam dan tidak melakukan apa-apa untuk sementara waktu. Kendati demikian, ia segera menutupinya dengan berlagak tidak mendengar pertanyaan Jimin. Yang ia lakukan justru memukul-mukulkan bantal kepada Jimin sambil mengusirnya.
Jimin berusaha menghalau pukulan dari bantal itu. "Ah, wae? Aku kan hanya menebak-nebak saja."
"Siapa yang memberitahumu?" tanya Yoongi pada akhirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bulletproof [Selesai]
Fiksi PenggemarHyerin tidak pernah menyangka bahwa hidupnya akan semudah itu untuk berpindah haluan. Awalnya, Hyerin hanya mengenal Yoongi sebagai seorang rapper dari grup favoritnya. Sesederhana itu. Hingga tanpa sadar, perlahan-lahan Hyerin mulai terlibat dalam...