Nina berjalan mengendap-endap begitu masuk rumah dengan air mata yang telah meleleh saat ia berpisah dengan Eza. Jam masih menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Ia beruntung, bahwa kali ini Bunda dan kedua saudara laki-lakinya itu telah masuk kamar.
Saat ia menaiki tangga, ia dikagetkan oleh sebuah suara. Ia merutuk suara itu di dalam hatinya.
"Kamu ngapain jalannya kayak gitu?"
Tubuh Nina membeku seketika saat mendengar suara bariton milik kembarannya. Tapi ia berusaha tenang dan menghapus air mata itu dengan kedua ibu jarinya. Lalu ia membalikkan badannya dan tersenyum pada Nino yang baru keluar dari dapur.
"Gu-gue gapapa kok, No. Gue cuma nggak mau bikin suara berisik aja." Kata Nina sambil mengusap hidungnya yang tidak gatal.
Nino mengangkat satu alisnya, lalu mendekati Nina yang kini masih terpaku di ujung tangga.
"Bohong. Gue tau lo habis keluar sama Eza, gue lihat tadi." Ucap Nino dengan tatapan tajam.
Nino mengangkat tangan kanannya untuk mengelus pipi Nina. Ia merasakan pipi Nina yang basah.
"Pipi lo basah. Lo habis nangis ya?"
Tebakan Nino sangat benar. Nina hanya bisa tersenyum untuk menutupi kesedihannya. "No, udah malem. Gue capek, gue mau tidur."
Nina kembali berbalik dan meninggalkan Nino yang masih berdiri di ujung tangga. Tentu saja Nino langsung mengejar Nina. Badan Nino yang kekar menghalangi pintu kamar Nina.
Nina mendecak sebal, lalu mendelik kepada Nino. Gadis itu berusaha untuk menggeser badan Nino. Tapi tetap saja kekuatan badannya akan kalah dengan kembarannya itu.
Nino mencengkram dua lengan Nina. "Gue tau, lo itu nggak bisa bohong. Lebih baik lo cerita sama gue, gue bisa jadi pendengar yang baik."
"Tapi gue mau masuk kamar dulu, gue ceritain di kamar aja. Takut Bunda sama Kak Reyhan denger." Pinta Nina.
Dengan sigap, Nino langsung membuka jalan Nina. Bahkan ia membukakan pintu kamar untuk Nina, sambil berkata. "Silahkan masuk, Tuan Putri Nina."
Nina tertawa kecil. "Dasar pas ada maunya dong jadi kayak gitu."
Nina pun masuk lalu Nino mengekor pada kembarannya itu. Nina berjalan ke kamar mandi yang ada di dalam kamarnya untuk cuci muka dan cuci kaki. Sedangkan Nino sudah berguling-guling dia atas kasur Nina.
Setelah itu, Nina langsung menelungkupkan badannya di sebelah Nino. Ia menghembuskan napas panjangnya.
"Lo kenapa sih, Na? Eza nyakitin lo lagi?"
Nina menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan tangis yang ingin keluar lagi.
"Gue... gue putus dari Kak Eza, No."
Tapi reaksi yang Nino tunjukkan hanya datar. "Tuhkan, ternyata lo putus dari Eza."
Nina menatap mata cokelat Nino. Ia tahu ada kemarahan yang dipancarkan oleh mata Nino, bahkan kini nafas Nino tidak teratur. Saat ini Nino sedang menahan emosinya.
"Apa perlu besok gue nonjok Eza, Na?" Suara berat Nino membuat Nina merinding.
"Dia nggak salah, No. Gue rasa ini pilihan yang tepat buat gue sama Eza." Nina mengelus punggung Nino, berusaha untuk meredam emosi Nino.
"Tapi dia udah nyakitin lo, Na."
"Hati gue emang sakit, No. Gue baru pertama kali diginiin sama orang yang gue sayang," Nina menarik napasnya sebentar. "Tapi gue tau kalau dia itu nggak ada maksud nyakitin gue. Dia terpaksa, No."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kembaran✔
Teen FictionKlise. Mungkin banyak diantara kalian yang menganggap bahwa memiliki saudara kembar adalah hal yang menyenangkan. Apalagi kembarannya berbeda jenis kelamin. Tapi berbeda dengan yang berbeda dialami oleh Nina Felicia dengan kembarannya Nino Fernando...