Lelaki itu berhenti berjalan. Menatap sayu ke arah langit lalu didapatinya bulan tengah remang bersama warnanya. Tidak ada kerlipan bintang dan tidak ada sepasang kekasih yang tengah berpegangan tangan dengan hangat di taman kota, kemudian mulai menebak-nebak mengenai bintang mana yang tengah sakit dan bintang mana yang akan jatuh ke bumi. Malam itu, sepasang kekasih hanya tinggal kisah. Luput termakan entah. Jejaknya terhapus namun kasihnya tidak akan terputus.
Katanya warna bintang mampu menggambarkan keindahan. Lantas bagaimana dengan warna rindu? Apakah ia bisa bermetafora? Berkamuflase? Atau rindu bisa mengeluarkan aura warna tersendiri? Hingga mengundang iblis untuk datang menakuti.
Lelaki itu terdiam. Kini sepotong rembulannya telah termakan asap tebal. Selang beberapa menit berikutnya, lelaki itu berbicara. Tidak usah ditanya berapa usianya dan seperti apa keadaannya. Suara seraknya keluar.
"Kau bagai mawar. Sebanyak apapun duri yang melekat di tubuhmu dan sebanyak apapun darah yang akan mengalir di tubuhku, aku tetap tidak mempunyai alasan untuk melepasmu.
Kau tak adil, disana kau mampu melihatku, sedang aku disini hanya mampu mendoakanmu. Aku rindu! Kau tahu!.
Dahulu di taman kota, kita yang berada di bawah bulan dan bintang itu. Sembari berpegangan tangan, aku masih ingat saat kau suka menerka bintang mana yang akan jatuh duluan. Lalu kau berdoa, aku tidak lupa doamu; semoga kita akan baik-baik saja."
Gulita ternyata bukan maya. Kini lelaki itu tersedot kedalam masa lalu. Setetes air sebesar biji kacang hijau mulai menitik pelan di sudut matanya.
Sebegitu teganya rindu.
Kebanyakan orang yang merindu hanya dalam satu dunia saja, hanya berbatas jarak, itupun tersiksa katanya. Bandingkan dengan lelaki ini, terpisah sejauh mata memandang, sejauh aroma hidung tidak sanggup membau dan sejauh tangan yang kalah tidak sanggup menggapai. Ini bukan masalah jarak dan waktu lagi, tapi masalah dimensi dan ruang yang membatasi.
lelaki itu tetap berdiri mengadah ke langit. Berharap sesuatu yang tidak pasti, ingin wanitanya kembali. Ia ingin mereka ulang masa lalu, menerka dimana bintang yang akan jatuh, sambil bergenggaman tangan. Lalu ia tersenyum. Tangisnya tumpah. Sudah biarkan saja tangis meredakan kontraksi rindunya.
Bagaimana? Rindu itu memang kejam. Kenanganpun setia membumbui.
Malam menjelang, kakinya mulai melangkah. Esok ia pasti akan datang lagi kesini, berbicara hal-hal yang sama berulang kali. Berharap hal-hal yang sama tanpa lelah.
"Mawarku, tenang saja disana. Setiap saat aku akan mengunjungimu. Berbekal doa, semoga mampu jadi selimut hangatmu dikala kedinginan dan mampu jadi bantalmu agar kau tetap nyaman lalu bisa memelukmu dikala resah. Tidak usah risau bagaiman keadaanku, aku baik-baik saja seperti yang kau lihat sekarang".
Layar langit hitam seketika. Bulan lenyap, Bintang-bintang hilang. Di suatu koridor, lelaki tadi masih tetap berjalan, menyanyikan lagu rindu dan lagu kenangan, berdoa yang terbaik untuk kekasihnya.
"Obat rindu hanya mencoba bersyukur" kata terakhir lelaki itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Mencintaimu Adalah Perang
Poesia"Akan ada saatnya dimana kita bisa memilih dan sedia menerima pilihan. Sebab cita-cita cinta hanya bisa di usahakan, tanpa bisa di paksakan. Akan ada saatnya dimana aku kembali lagi bersama diriku sendiri. Sebab setelah jauh mengikuti langkahmu, aku...