Menjelang Kematian

89 3 0
                                    

Di rumah-rumah kosong, di atap menara lonceng kota, di sangkar burung merpati, di dapur yang berantakan, di jalanan yang lengang ada sepasang kekasih yang tengah bergandeng tangan. Menyatukan renggang-renggang jari yang kedinginan.

Di bawah rintik hujan, di uap-uap kopi, di serbuk-serbuk kue, di batas-batas paragraf, di dalam asbak rokok ada sepasang kekasih yang tengah rindu ingin bertemu.

Di pekatnya asap, di ujung persimpangan jalan, di tepi jurang, di mulut kawah ada sepasang kekasih yang sebentar lagi akan berpisah.

Lalu aku tidak sedang berada diantara mereka semua. Dan merekapun tidak ingin ada di dekatku. Sepi mendekap layaknya seorang ibu yang tengah memberi ketenangan pada anaknya yang sedang kelaparan. Menyentuh dada lalu mengusap dan mengulang kata-kata "Semuanya akan baik-baik saja". Mengecup kening seolah semua ini hanya sebatas intuisi.

Entahlah, aku tak percaya kalau ibuku sendiri itu sepi dan aku lahir dari rahimnya yang kaku.

Gila adalah akibat dari sebuah perkenalan. Dan kau adalah sebab dari segala macam kegilaan yang berlalu-lalang di kepalaku. Aku cinta sekaligus resah, aku rindu sekaligus malu, aku pergi menggandeng pedih.

Tentu aku tidak akan pernah bertahan padamu, sebab aku tahu ada hal-hal yang semakin remuk jika kita memaksa bersatu. Sewaktu-waktu kau memang matahari yang membuatku nyaman dan tenang. Namun dalam jangka panjang kau adalah penyebab kemarau di segala macam suasana. Tapi tenang, kau tak seburuk itu.

Pergi bukanlah akhir, pergi adalah permulaan. Kau adalah cinta dan aku adalah mati.

Mencintaimu Adalah PerangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang