Sesaat atau Selamanya

104 5 0
                                    

Gugur daun subuh menyentakkan aku dalam lamunan. Setelah hampir empat jam aku dapati kopi yang telah melayang menjadi uap dan bergabung pergi entah kemana. Mungkin berkeliling-keliling di angkasa, menyambangi makam kenangan, menaburi bunga lalu memanjatkan doa.

Rindu berubah jadi pilu. Harap berubah jadi gerutu. Senyum berubah jadi hampa, sejak kita berpisah entah akan berapa lama.

Siapa yang akan tetap tegar jika ditinggalkan? Siapa yang akan tetap berdiri tegak jika kekasihnya tak lagi berada di sebelah? Manusia mana yang akan tetap tertawa kala patah bukan lagi menyatu pada ranting tapi bersemayam dalam hati.

Di tinggalkan adalah sesuatu yang sangat tidak menyenangkan. Rasa ketika ditinggalkan itu sesak. Di hati ini ada pedih, di mata berasa perih tapi tak kunjung juga untuk menangis. Sekuat-kuatnya seorang lelaki, ia akan tetap goyah jika di tinggalkan, percaya saja.

Tapi bukankah hidup hanya masalah menerima yang baru dan mengikhlaskan yang telah berlalu? Bukankah hidup hanya perihal menerima dan tabah pada apa yang di tetapkan? Bukankah hidup hanya seperti seekor semut yang tenggelam di genangan air kopi? Bukankah hidup hanya sekedar kata-kata yang haus di kata-katai?.

Kita berdua adalah katalis dalam hidup. Kita berjumpa, kita bersama lalu kita berpisah. Semuanya indah. Segenap perjalanan, segenap usaha, semua kelelahan, bukankah akan indah jika kita kenang pada suatu pagi? Senja? Atau malam? Lalu datanglah senyum dan air mata sebagai bumbu untuk melengkapi segenap cerita, menjadi tanda baca agar sebuah tulisan lebih terkesan berarti dan bermakna.

Pilu?
Itu yang ku hadapi saat ini. Tapi hidupmu bukan hanya sekedar perihal memelukku, hidupmu adalah perihal memeluk tubuhmu sendiri.

Selamat berkelana, jika sudah lelah kembalilah. Aku akan hangat seperti biasa. Menyambut mu penuh suka cita, merawatmu penuh kasih sayang. Percaya saja.

Mencintaimu Adalah PerangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang