Hujan di Matamu

97 4 0
                                    

Ada yang berderai. Kian lama bunyinya semakin kuat seperti langkah kaki yang giat bergerak mendekat.
Hawa dingin. Di tengah kebimbangan serta keraguan ia kembali menyapa dengan seutas benang tipis yang tersambung ke masa lalu, panjangnya tak terbilang. Jauhnya tak tersebut.
Di ujung benang tipis itu terikat selembar surat. Aku hanya melihat belum berani menyentuh apalagi mengambil apalagi membaca.

Berderap-derap langkahnya, bergemerincing bunyi gelang kaki, lalu di tangannya seolah menenteng sebuah kantong plastik berisi kedinginan, kesejukan dan selimut. Sepertinya malam ini akan menjadi gelap yang lebih panjang dari biasanya. Bisa jadi dua puluh jam, dua puluh tujuh jam atau dua puluh ratus jam, tergantung kesanggupan mendengar dan menghapus air mata setelahnya.

"Tap...tap...tap" langkah kakinya semakin mendekat. Bergegas kubuka pintu.

Aku tahu, malam ini dia sedang membawamu. Sebuah kenangan yang masih terasa hangat dan melekat dengan tajam di setiap sel pada jaringan otakku.

Hujan malam ini membawa kembali cerita masa silam secara keseluruhan yang dibungkus rapi pada kedua bola matamu. Sama sekali tidak ada yang berubah, semua hal tetap saja terasa sama. Hanya memang kenyataannya saja yang tidak demikian.

Benar, mata itulah yang membuatku patah tak tentu arah. Mata yang membuatku kelu dan tak lagi tahu malu. Mata yang membuatku seperti sekarang, setia menunggu hal yang sudah pasti takkan pernah kembali lagi pada dekap degub jantungku.

Cinta yang kian tersemat kuat serta kepasrahan yang paling dalam membuat apa yang telah kita lalui terasa lebih mencekam dari jurit malam. Tentang perjalan kita pada suatu waktu, kau seperti biasa, kubonceng, tanganmu berpegangan dan kepalamu bersandar ke punggungku. Syahdu tapi tak abadi. Yang kita cari abadinya bukan? Tapi abadi bukan lahir dari paksaan.

Seiring waktu berjalan dengan pelan dan konstan. Kian hari kita menjadi semakin renggang. Tidak ada hari yang kosong tanpa berdebat, saling menyalahkan tapi bukan berniat untuk saling menghancurkan. Kau dan aku bukanlah tabiat buruk yang bersatu. Hanya saja waktu itu, kita belum benar-benar siap untuk menerima. Baik itu menerima jatuhnya atau menerima cintanya.

Sekarang lihatlah. Satu per satu kenangan itu mencuat dari permukaan setelah sekian lama tenggelam. Lihatlah sekarang ia sudah berani mengetuk-ngetuk pintu seolah tahu bahwa arah yang benar kembali adalah pada yang benar-benar tulus mencintai.

Namun, apakah itu semua ada pada diriku saat ini?
Entahlah, tapi suatu ketika aku berharap demikian. Dan...
Aku ingin berdoa, semoga kelak di suatu masa, tidak ada yang lebih tulus mencintaimu selain diri yang lemah ini.

Mencintaimu Adalah PerangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang