Malam ini aku ingin berlama-lama dengan waktu. Membiarkannya berdetak-detak di dinding, di langit, di dasar laut dan di pikiranku. Kali ini waktu tak akan aku biarkan berlalu sebab biar aku saja yang hilang dan biar waktu yang menjagamu sebisanya.
Malam ini aku ingin kembali merengkuh masa lalu. Bersama segelas kopi, asbak rokok dan kepulan asapnya yang menerobos masuk ke langit ketujuh, mengetuk-ngetuk surga, membuat panik bidadari-bidadari kemayu. Begitulah doaku untuk menyatakan cinta pada mereka. Tapi manusia pendosa takkan pernah menikah dengan bidadari.
Di beranda rumah sambil menatap dedaunan jatuh, ranting kering, burung tidur, semilir angin dengan desah dan resah menyentuh menyapa pelan. Benar, perasaan ini sudah lama terkubur di atas keragu-raguan, kerancu-rancuan.
Kadang aku kesal telah mencintai sebegitu dahsyatnya dan merindu sebegitu hebatnya sebab semua itu hanya patah menyentuh bibir-bibir fana. Rasanya sesekali dalam pikiran nakalku, aku ingin menjadi seperti dirimu; selalu di tunggu, di risaukan, di rindukan, di cintai, di buatkan puisi, di nyanyikan, di khawatirkan dan di beri segala. Tapi, siapa yang sebegitu tulusnya padaku?.
Kecewa hanya untuk mereka yang tak pernah percaya pada keajaiban dan aku adalah salah satu untuk menggenapi mereka.
*
Malam kian melarut, pikiran ini kian melayang ke sebuah kisah 4 tahun lalu. Saat kita bergandengan tangan menyusuri taman kota. Duduk di bawah kursi yang diterangi lampu, di bawah naungan purnama yang menggantung merdu seperti sepotong kue yang masih baru. Kita sepasang sepi yang kali itu menyatakan cinta, kita sepasang duka yang hendak lepas dari belenggu kepahitan.
"Sini kasihku, jangan malu-malu, jangan jauh-jauh. Tidak ada yang enak dari kehilangan, percaya padaku!" tanganku bergerak spontan pada hampa yang sedang duduk di sebelahku Seolah-olah merengkuh. Ternyata ia yang selama ini menjelma jadi dirimu, mencari parfum yang se aroma denganmu, mencari senyum yang persis denganmu.
Amboy... Untuk apa ia lakukan semua ini? Apakah agar aku bisa beranjak dari patah hati? Luka? Tangis? Ratap?. Biarlah aku begini sampai mati, sampai cacing tak sudi menyentuh kulitku karena ia tak sudi memakan daging manusia yang mati karena menunggu seorang kekasih yang sekarang entah berada dimana.
Ya.. sejak kepergimu, aku berhenti untuk jatuh hati pada manusia lain. Dulu aku pernah berkata "Mencintaimu atau aku mati sama sekali" Terbukti.
Kali ini aku pilih menunggu kau kembali dari perantauan nan jauh disana. Dari jarak yang tak terhitung angka, dari jauh yang tak terpandang mata, dari aroma yang tak tercium hidung, dari denting yang tak terngiang di hati.
Biarlah..biarlah.. Lepaslah dengan segala kepenatanmu. Biar aku yang menanggung derita merindu. Bebaslah dengan segala alam mu, biar aku mati tanpa ada yang tahu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mencintaimu Adalah Perang
Poesía"Akan ada saatnya dimana kita bisa memilih dan sedia menerima pilihan. Sebab cita-cita cinta hanya bisa di usahakan, tanpa bisa di paksakan. Akan ada saatnya dimana aku kembali lagi bersama diriku sendiri. Sebab setelah jauh mengikuti langkahmu, aku...