Kelamnya langit malam menjadi saksi atas peluh serta lelah dalam tubuh yang kini tengah dipenuhi keringat akibat bermain bola. Terpaan angin malam sedikit membebaskan tiga orang laki-laki yang berbeda umur itu dari rasa gerah yang luar biasa. Dua anak yang lebih kecil, dengan wajah yang sedikit mirip, begitu serius mendengarkan arahan dari siswa SMA yang telah mereka sebut 'pelatih' itu.
"Intinya kalian harus tenang, harus yakin kalo kalian bisa! Tendang bola nya ke gawang sekeras yang kalian bisa, oke?" Seza terus melangkah, menyusuri trotoar bersama dua orang anak laki-laki yang terlihat begitu antusias dengan arahan yang Seza berikan.
Dika --seumuran SMP-- mengangguk paham, "kalo misalkan Dika tetep gugup, gimana Kak?"
Seza tersenyum kecil, "kamu harus inget mimpi yang ingin kamu wujudkan! Inget Bapak sama Mama yang ingin kamu bahagiakan."
Seza mengalihkan pandangannya lurus ke depan, "Kakak juga dulu sering gitu, udah di depan gawang, mau nge-shoot, tapi gak yakin bakal masuk apa enggak, jadinya bola keburu direbut, peluang emas berintan bertahta jadi terbuang sia-sia."
Anak itu menghela napas pelan, ada tekad luar biasa di dalam dada kecil nya. Tekad untuk mengejar mimpinya, tekad untuk memperbaiki hidupnya, tekad untuk membanggakan kedua orangtuanya. Ia begitu banyak menyimpan mimpi, hingga ia temukan Seza, kakak baik yang selalu membantu hidupnya, membawa sedikit bahagia dalam keluarganya, dan melatihnya untuk menjadi pemain sepakbola, seperti mimpinya.
"Jangan lupa berdoa sebelum tanding, berusaha dengan keras, lalu serahin semuanya sama Allah. Selalu libatkan Allah disetiap perjuangan kamu!"
Dika mengangguk dengan senyum yang mengembang, "tanpa Allah kita bukan siapa-siapa, kata Mesut Ozil."
Seza tersenyum tipis, selalu ada bahagia dalam hatinya saat berbagi dengan mereka. Selalu ada rasa damai saat melihat senyuman kecil mereka. Selalu ada desiran yang membuatnya terdorong untuk tetap disamping mereka.
"Kakak kayaknya langsung pulang ya, udah malem. Salamin ke Mama sama Bapak," kata Seza saat tubuhnya telah berada di dekat motor andalannya.
Kedua anak itu mengangguk, "makasih ya, Kak!"
Seza tersenyum, lalu mengangguk, "inget! Keyakinanlah yang membuat sesuatu terjadi atau tidak. Jadi yakinlah sama kemampuan kalian, yakin sama diri kalian, yakinlah sama mimpi kalian!"
Kedua anak itu mengangguk haru. Ada desiran hebat menggetarkan hati mereka, bukan karena mereka jatuh cinta pada Seza. Sungguh bukan! Tapi karena sebuah mimpi yang begitu harus mereka wujudkan! Sebuah mimpi yang harus menjadi nyata! Hingga kilatan air di pelupuk mata sudah tak mampu lagi mereka bendung. Begitu besarnya tekad yang tergambarkan di mata bening mereka. Membuat Seza rasanya ingin berteriak pada Tuhan, agar membantu mereka untuk mewujudkan mimpinya. Tapi bahkan tanpa harus Seza minta, Tuhan selalu membantu mereka, menguatkan mereka.
"Semangat, jagoan!" cowok itu mengepalkan tangannya ke arah mereka, yang langsung disambut bergantian oleh Dika dan Dino.
(Masih ingat Dika dan Dino? Anak pemulung yang sering dibantu oleh Seza dan Lea. Liat part 8.C kalo lupa:v)
"Yaudah pulang sana, udah malem."
Kedua anak itu mengangguk, lalu berbalik, melangkah menuju rumah yang seringkali orang lain sebut itu bukan rumah. Itu hanya gubuk yang tak layak di sebut rumah. Hanya Seza yang peduli pada mereka saat semua orang hanya bisa mencaci tanpa mau membantu.
Cowok itu hendak memakai jaket hitam yang dari tadi tersampir di atas motor, saat sebuah motor melaju di hadapannya, sukses membuat Seza mengernyit pelan, ia seperti mengenali gadis di belakang si pengendara. Dengan reflek cowok itu mengikuti arah motor yang ternyata berhenti tak jauh dari keberadaannya. Kerutan itu semakin jelas di kening Seza. Afra? Dia kan jones, kok dianter cowok?
KAMU SEDANG MEMBACA
Why Stay Away?
Teen Fiction"Salah gue cinta sama lo? gue bahkan gak tau, sejak kapan perasaan itu ada. Gua bahkan gak ngerti, kenapa gue bisa cinta sama lo. Gue bahkan gak pernah sadar, kalo gue takut kehilangan lo!" [Alea Afsheen Nindya] "Gue kira, gue gak suka dia. Tapi ter...