Hening menyambut. Dingin memeluk. Sendu menusuk. Afra menghela napas pelan. Selalu seperti ini setiap kali ia menapakkan kaki di rumah neraka nya. Gadis berambut sedikit kecoklatan itu segera menggiring langkah santainya menuju dapur, sekedar ingin meneguk air putih untuk meredakan rasa haus yang melanda. Senja belum menyapa, hingga Afra sedikit bisa bernapas lega, karena meyakini ayahnya belum pu....... Tunggu dulu! Sosok yang kini tengah duduk bersandar nyaman di sofa dengan sehelai koran yang menjadi objek pandangan dingin nya, itu.. Itu.. Bukankah ayahnya?!
Langkah gadis itu tercekat. Seketika menegang di tempat. Merasakan aura dingin nan tajam dari sosok yang kini mulai menyerangnya dengan tatapan menusuk begitu kuat. Memacu degupan jantungnya yang berdegup semakin hebat. Meruntuhkan eksistensi dirinya yang dari dulu selalu lemah jika dihadapkan dengan pria ber-otak namun tak ber-hati itu.
"Darimana?" Afra tercekat. Ucapan dingin ditengah kesunyian itu berhasil menusuk-nusuk nyali nya.
"S-sekolah, Yah."
"Sekolah?" Fahri mengangguk-ngangguk, lalu kemudian menautkan alisnya penasaran, "sekolah dimana?"
"Di-"
"Dari rumah pakai seragam sekolah, maksa bawa motor dengan alasan takut kesiangan, tapi nyatanya dalam daftar kehadiran, hari ini kamu tidak hadir di kelas! Kemana kamu? Keluyuran?" Fahri mulai beranjak, perlahan menyeret langkah untuk lebih dekat dengan putrinya, "Menjadikan sekolah sebagai alasan kamu untuk bebas?"
Afra menelan ludahnya. Menatap takut sosok pria berperawakan tinggi yang kini mulai menghampirinya dengan aura kemarahan yang luar biasa.
"JAWAB!"
Afra tersentak. Bergidik samar saat bentakan keras itu merobek keberaniannya.
Refleks gadis itu memejamkan mata, tidak siap dengan apa yang mungkin akan dilakukan ayahnya, "A-afra.. Jenguk temen di rumah sakit, Yah. M-maafin Afra karena Afra gak izin dulu sama Ayah," gadis itu masih setia membiarkan matanya terpejam, "Afra g-gak niat bolos, Yah.. Ayah percaya dong sama Afra.."
PLAK!!
Afra merengut dalam sepi. Menikmati luka dalam sunyi. Tamparan keras itu terasa begitu menyayat hati. Menjalar bagai menyengat-nyengat di pipi.
"Percaya?" sinis Fahri lantang, "Anak seperti kamu apa pantas untuk dipercaya?!"
Isakan kecil mulai terdengar. Afra tak kuasa lagi menahan sakit yang menyiksa hatinya. Ia ingin jujur kali ini. Ia tak ingin diam saat ini.
"Setidaknya Afra gak bohong, Yah..." rengeknya, disela-sela isakan yang tercipta.
Amarah yang sudah tersulut di Puncak kepala, mendidih dalam otak, lalu bergemuruh dalam raga, membuat Fahri dengan kasar menghempaskan tubuh putrinya pada tembok yang membatasi ruang tengah dengan pintu utama. Keras. Bantingan cukup keras itu membuat Afra meringis disana, menahan sakit yang menyerang punggungnya. Beruntung masih ada tas gendong yang tersampir di bahunya, hingga benturan itu tak menyebabkan nyeri luar biasa yang menyiksa. Afra menatap sendu sosok Fahri yang berdiri tegap dengan mata menyala-nyala menatap Afra tanpa sedikitpun menunjukkan tatapan iba ataupun menyesal telah menyakiti putri kandungnya.
"Kapan kamu berhenti menjadi anak yang mengecewakan untuk Ayah?!"
Sakit. Ucapan yang terlontar dari sosok seorang ayah itu rasanya lebih menusuk daripada luka yang ia terima pada fisiknya selama ini. Afra berdecih dalam hati. Apa menjadi juara 2 di kelas bukan hal yang membanggakan untuk ayahnya? Apa menghargai usaha seorang anak sulit sekali dilakukan ayahnya? Apa kepercayaan milik Fahri sangat berharga untuk diberikan pada anak kandungnya sendiri?
KAMU SEDANG MEMBACA
Why Stay Away?
Teen Fiction"Salah gue cinta sama lo? gue bahkan gak tau, sejak kapan perasaan itu ada. Gua bahkan gak ngerti, kenapa gue bisa cinta sama lo. Gue bahkan gak pernah sadar, kalo gue takut kehilangan lo!" [Alea Afsheen Nindya] "Gue kira, gue gak suka dia. Tapi ter...