49. Demi Sebuah Mimpi

8.1K 438 28
                                    

Lea menata sandwich terakhirnya dengan cukup hati-hati, lalu menempatkannya diantara sandiwch lain yang telah lebih dulu bertengger dalam kotak makan. Tidak, ini bukan untuk dirinya. Ini makanan spesial untuk hari spesial, dan tentu saja untuk orang spesial. Eh, makanannya mungkin tidak terlalu spesial, hanya tiga buah sandwich yang mungkin rasanya pun tidak akan mampu menyaingi sandwich dari cafe-cafe mahal yang sering dikunjungi banyak orang.

"Selesai!" Seru nya senang, lalu dengan cepat meraih tutup kotak makan berwarna navy dan menutup nya segera, untuk kemudian memasukannya ke dalam tas.

Cewek itu segera menarik langkah semangat menghampiri Rara--ibunya, "Ma, Lea berangkat, ya!"

"Iyaa. Bilangin ya ke Seza, maaf Mama gak bisa nganterin dia."

"Siap, Ma."

"Mama kirim doa aja, semoga Seza sukses dan jadi yang terbaik."

"Seza bilang, Seza gak mau jadi yang terbaik. Dia hanya ingin mendapatkan yang terbaik menurut Allah. As simple as that! Idaman banget emang."

Rara hanya terkekeh, "Dasar!"

. . .

Seza menarik napas panjang, dengan fokus tertuju pada sebuah tas hitam besar berisikan barang-barang penting yang ia bawa untuk beberapa bulan ke depan. Ia menghembuskan napas perlahan, rasanya seperti mimpi saat salah satu mimpi nya akan terwujud hanya dalam satu langkah lagi.

Seza terdiam. Terhenyak kala menyadari, bahwa ia harus meninggalkan orang-orang yang ia cintai untuk beberapa bulan ini. Meninggalkan rumah, keluarga, teman-teman, dan... Lea. Ia menarik napas, tidak apa-apa. Seza sadar, mimpi memang selalu membutuhkan pengorbanan agar ia dapat diraih.

Setelah dua minggu lamanya Seza berjuang keras mengembalikan kesehatannya yang sempat tidak memungkinkan untuk ikut serta membela timnas, namun akibat tekad serta semangat juang yang telah berkobar sejak lama, kini ia siap untuk menyambut segala hasil atas kerja keras yang telah dilakukan.

Cowok itu segera menyambar tas hitamnya, memilih menghentikan acara melankolis yang sebenarnya terlalu lebay. Ia beranjak keluar kamar, menuruni tangga, lalu keluar untuk memasukkan tas lumayan besar nya ke dalam bagasi mobil milik Arga--ayahnya-- yang sudah siap untuk mengantar, tentu saja ibu nya juga ikut serta mengantarkan sang putra yang akan berjuang untuk meraih mimpinya.

Disana, di bawah teriknya mentari yang bersinar begitu hangat, Seza menarik napas nya panjang-panjang, diam-diam melapalkan doa agar Tuhan meridhoi setiap langkahnya.

. . .

Lea menyapukan pandangan dibalik jendela taksi yang ditumpanginya. Ia tidak mengerti, apa kini ia harus bahagia, atau malah bersedih hati? Harusnya ia bahagia mengetahui fakta bahwa Seza berhasil mewujudkan mimpinya, tapi disisi lain... ada sedikit pilu yang bersarang, mengingat bahwa mimpi itu akan menciptakan jarak antara ia dengan Seza. Lea menghela napas, Tidak apa-apa... ini demi Seza, demi mimpinya.

Tanpa disangka, pikirannya tiba-tiba berlabuh pada seseorang yang saat ini mungkin ingin sekali menemui Seza. Ingin sekali mengucap kata selamat atau hal lainnya pada Seza. Lea menegang. Mungkin ini masanya, untuk Lea mengakhiri segala perselisihan yang ada antara ia dengan Zahra. Lea yakin Zahra ingin menemui Seza saat ini. Lea yakin Zahra ingin berbicara pada Seza saat ini.

Gadis itu menghela napas panjang, menimbang sesaat tentang apa yang harus ia lakukan. Kali ini ia tidak boleh egois! Kali ini ia ingin berusaha mengerti tentang perasaan orang lain. Ia yakin, cinta tidak pernah mengizinkan siapapun bertindak egois.

Why Stay Away?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang