Walau sudah dilarang berulang kali, dinasihati beberapa kali, Seza tetap bertahan pada pendiriannya. Ingin melihat pertandingan pertama Ney bersama timnas Indonesia langsung di stadion.
Dan kini... ia benar-benar duduk disini. Di kursi VIP dengan beberapa alat medis yang masih menyangga hidup nya. Ditemani Lea yang selalu setia di sampingnya. Tak pernah berniat beranjak, apalagi berhenti mencinta dirinya.
Dengan genggaman hangat milik Lea yang memberi kekuatan, Seza terus menyaksikan pertandingan di hadapannya. Memperhatikan gerakan Sang Putra yang selalu terlihat memukau. Bersinar, bagai pemain bintang kelas dunia.
Mungkin Seza lebay. Tapi sungguh, ia benar-benar bangga.
Peluit panjang dibunyikan. Tanda pertandingan telah selesai.
Dua kosong kemenangan untuk Indonesia. Seza tersenyum dengan bangga, walau denyut-denyut menyakitkan tak henti menyerangnya.
Setelah melakukan sujud syukur nya pada Tuhan, Neymar tidak pergi kemana-mana lagi. Ia langsung melangkah cepat menuju tribun VIP dengan melewati beberapa belokan yang sedikit rumit.
Lea sudah memberitahu Ney, bahwa Seza tetap bersikeras untuk datang langsung ke stadion. Ney tidak mampu apa-apa lagi. Hanya mendengus pasrah lalu bertekad untuk memberikan yang terbaik demi membuat bangga bangsa, dan sang ayah.
Sesampainya di tribun VIP, Ney langsung tersungkur di kaki Seza, menangis sejadi-jadinya. Meluapkan segala rasa bangga serta bahagia atas kemenangan tim nya. Diam-diam berdoa pada Tuhan, agar Ia memberinya kesempatan untuk Ney bisa belajar bersama sang ayah lebih lama lagi. Ney belum siap untuk kehilangan. Tidak ada yang siap untuk kehilangan.
Seza berusaha meraih tubuh putranya dengan susah payah. Tak ingin membiarkan Ney tersungkur di kaki nya. Selama ia masih punya bahu untuk mengadu, kenapa harus kaki yang dijadikan tempat untuk putranya tersedu?
Ney segera memeluk Seza erat. Menyalurkan getar yang membara dalam dada. Menumpahkan tangis bahagia serta takut yang benar-benar menggila. Takut... takut waktu akan semakin cepat memisahkannya dengan sang Ayah.
"Berkat doa Papa..." lirih Ney, dengan getar yang terdengar memilukan.
"Kamu hebat..." bisik Seza lemah.
"Papa cepet sembuh," Seza hanya tersenyum tipis mendengar kalimat singkat putranya. Ney yang jarang sekali menitikkan air mata, kini begitu hebat membasahi bahu nya. "...biar Ney bisa latihan lebih sering lagi sama Papa."
Sebulir air mata lolos dari mata Seza. Ia tak mampu berkata. Ia tak ingin menjanjikan apa yang tidak bisa ia pastikan. Sebab perihal kematian, itu mutlak ketetapan Tuhan. Tidak ada yang dapat mengubahnya.
Demi menenangkan Ney yang terus menitikan air mata, Seza mengulurkan tangannya yang lemas untuk mengelus-ngelus punggung sang putra. Memberi sedikit ketenangan pada Ney, bahwa Seza masih ada. Bahwa Ayahnya masih bisa menyalurkan hangat lewat elusan walau kini rasa sakit tak henti menyerang tubuhnya.
Kini sesak semakin hebat menyergap, denyut menyakitkan segera menjalar ke seluruh bagian tubuh. Mencabik. Meremas. Mengoyak. Menghantam. Hingga darah yang mengucur dari hidung Seza menjadi bukti dari sakit yang sudah mencapai puncaknya.
Helaan napas berat serta ringisan lemah yang keluar dari mulut Seza membuat Ney segera mengurai pelukannya. Segera melihat keadaan Seza, lalu tersentak. Cepat-cepat ia lambaikan tangan pada tim medis yang setia menjaga disana.
Seza melemah. Pandangannya kian memburam. Ia mulai kehilangan kesadaran.
Tim medis segera melakukan pertolongan. Lea meraih tangan Seza dengan cepat. Untuk memberi hangat pada tangan yang kian menyengat dalam kedinginan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Why Stay Away?
Teen Fiction"Salah gue cinta sama lo? gue bahkan gak tau, sejak kapan perasaan itu ada. Gua bahkan gak ngerti, kenapa gue bisa cinta sama lo. Gue bahkan gak pernah sadar, kalo gue takut kehilangan lo!" [Alea Afsheen Nindya] "Gue kira, gue gak suka dia. Tapi ter...