Gatra hanya bisa menatap kosong pada batu nisan dihadapannya. Air mata yang berada dipelupuk matanya tetap ia pertahankan disana tanpa mau meloloskannya.
Satu-persatu orang mulai meninggalkan tempat pemakaman. Terkecuali orang tua Gatra, Gania, orang tua Alena, kedua sahabat Alena, keempat sahabat Gatra yang masih terus melepaskan kesedihan mereka.
Air mata tak kunjung berhenti. Suara tangis memilukan terus memekakan telinga. Begitu menyayat hati.
"Gat," Gania memegang pundak Gatra, memberi kekuatan pada adiknya lewat pegangan itu. "Gue, Mama dan Papa pulang duluan, ya? Jangan terlalu lama disini."
Gatra tidak menjawab barang hanya anggukan pun sama sekali tidak. Dan itu membuat Gania menghela nafasnya panjang.
Gina menarik tangan Gania pelan. Menatap anak sulungnya itu dengan arti, 'biarin Gatra sendiri dulu'. Dan hal itu dibalas Gania dengan anggukan.
Tak lama dari keluarga Gatra yang pulang, keluarga Alena pun menyusul. Sebelumnya, Andi dan Nova menyempatkan memeluk Gatra dan memberikan kata-kata menguatkan untuk cowok itu.
Pandu dan Zidan mulai berjongkok disamping Gatra. Memegang pundak sahabatnya, bermaksud untuk menguatkan pula.
"Gat, ikhlasin. Disana itu indah. Gak ada yang bahaya disana." kata Pandu.
Zidan mengangguk setuju. "Lo gak boleh kayak gini, yang ada malah bikin dia tambah sedih."
"Iya, Gat. Tujuan dia pergi biar lo bisa bahagia, jadi lo gak boleh sedih." tambah Helena sambil masih terus menenangkan Rana.
Firly dan Rega mengangguk bersamaan, lalu mereka berdua mulai mendekat pada Gatra.
"Balik, Gat?" ajak Pandu dengan pelan. Karena tidak lucu jika dia berteriak seperti biasanya saat suasana sedang seperti ini.
Gatra menggeleng sekali. Hanya gelengan, dan hanya sekali.
Mereka semua saling tatap dan menghela nafas panjang. Mungkin benar kata Gina, Gatra perlu waktu sendiri.
"Kalo gitu kita balik. Lo jangan lama-lama disini," kata Zidan seraya menepuk bahu Gatra lalu melenggang pergi bersama Pandu, Firly, Rega, Rana, dan Helena.
🌸🌸🌸
Gatra duduk dipinggir ranjangnya, menghadap langsung pada balkon yang menampilkan gelapnya langit tanpa bintang malam itu. Tatapan cowok itu kosong, dirinya terlihat seperti tidak bernyawa.
"Gat, makan dulu." Gania masuk kedalam kamar Gatra dengan sebuah nampan ditangannya.
Gania berjalan mendekat pada Gatra, menaruh nampan itu diatas kasur tepat disamping Gatra. Ditatapnya Gatra tepat dimanik mata cowok itu.
"Lo gak boleh kayak gini," kata Gania begitu pelan nyaris seperti berbisik.Bola mata Gatra perlahan bergerak, menatap lurus pada bola mata Gania. "Terus gue harus gimana?" balas Gatra tak kalah pelan. Air mata mulai terlihat lagi dipelupuk matanya.
"Kuat dan ikhlasin."
"Gue nggak bisa, gue gagal, gue--"
"Nggak ada yang gagal. Ini takdir. Gak ada yang bisa nebak apa yang bakal takdir tentuin buat kita, buat elo dan buat dia." sela Gania seraya mencengkram bahu adiknya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alena
Teen Fiction(Perfect cover by @pujina) Takdir. Tidak ada siapapun yang dapat mengelak dari takdir, termasuk Alena. Alena, gadis polos yang selalu menghabiskan waktunya dikelas, sibuk dengan novel atau buku pelajaran. Dia bukan cewek-cewek hits yang dikenal oleh...