Alena berusaha fokus mengerjakan soal ujian fisika yang sekarang ini sedang dipegangnya. Berulang-ulang kali Alena mencoba untuk memasa bodokan rasa sakit yang menghinggapi kepalanya, namun, rasa sakit itu lebih kuat daripada Alena.
Pak Hendro yang menyadari gelagat dan melihat wajah menahan sakit Alena kini mulai membuka suara.
"Kalau tidak bisa jangan dipaksakan, bisa berbahaya untuk kondisi kamu."
Alena berusaha tersenyum kearah guru BP SMA Taruna itu. "Enggak Pak, saya bisa, kok. Lagian ini tinggal lima belas nomor lagi,"
Pak Hendro menghela nafasnya pelan. Tidak ada yang bisa ia lakukan disaat Alena tetap keras pada pendiriannya. Dan akhirnya, Pak Hendro membiarkan Alena kembali berpikir mengenai rumus-rumus vektor.
"AH!" pekik Alena. Sakit dikepalanya seolah menghantam kepala Alena sampai pecah. Sangat sakit.
Pak Hendro langsung panik. Dengan segera ia keluar dari ruangan Alena dan memanggil dokter ataupun suster yang ada disana.
Kebetulan sekali ada dokter yang lewat kala itu. Maka Pak Hendro langsung memegang jas putih milik sang dokter, meminta dokter tersebut untuk segera masuk kedalam ruangan Alena.
Karena melihat wajah Pak Hendro yang begitu panik, sang dokter langsung segera bergegas cepat tanpa perlu dipinta dua kali. Dokter itu juga merasa panik sesaat ketika melihat Alena yang memegang kepalanya-- ah, lebih pada menjambak rambutnya kuat-kuat.
"Tenang," kata sang dokter berusaha untuk membuat Alena tidak menjerit-jerit kesakitan. "Kamu tenang, jangan pikirin apapun termasuk pelajaran."
Pak Hendro hanya bisa berdoa dalam hati melihat Alena yang saat itu sedang disuntik oleh seorang suster yang baru saja masuk atas panggilan dokter.
Dokter dan suster tadi langsung bernafas lega setelah Alena sudah tertidur dengan tenang karena efek dari suntikan. Dokter itu berjalan mendekati Pak Hendro sambil tersenyum.
"Semuanya baik. Tapi, saya harap, Alena tidak boleh terlalu ditekan dalam berpikir." Dokter itu memberikan lembar jawaban serta soal ujian Alena pada Pak Hendro.
Pak Hendro mengangguk dan tak lupa juga tersenyum. Lalu, dia membiarkan sang dokter beserta suster yang menangani Alena tadi itu untuk keluar.
🌸🌸🌸
"Nih, Pak."
Gatra memberikan lembaran jawaban beserta dengan soalnya kepada Pak Hendro. Cowok itu tersenyum simpul.
"Makasih, Pak. Udah mau bantuin saya sama Alena."Pak Hendro mengangguk. "Gapapa. Saya mau bilang makasih juga sama kamu, sudah berbaik hati mau membantu mengerjakan sisa soal Alena."
Gatra mengangguk. "Oh ya, Pak. Orang tua Alena kemana?"
"Oh, itu katanya ada urusan."
"Udah lama?"
"Yah, lumayan." balas Pak Hendro. "Kalau gitu, Bapak langsung ke sekolah, ya? Kan udah ada kamu,"
Gatra tersenyum dipaksakan kemudian mengangguk. Setelah itu dia membiarkan Pak Hendro pergi.
Gatra mendudukkan dirinya dikursi yang sudah disediakan oleh pihak rumah sakit didepan ruang rawat Alena. Cowok itu berulang kali menarik dan menghembuskan nafas secara perlahan. Tak jarang tatapannya mengarah pada pintu ruangan Alena.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alena
Teen Fiction(Perfect cover by @pujina) Takdir. Tidak ada siapapun yang dapat mengelak dari takdir, termasuk Alena. Alena, gadis polos yang selalu menghabiskan waktunya dikelas, sibuk dengan novel atau buku pelajaran. Dia bukan cewek-cewek hits yang dikenal oleh...