10 Hari
Matahari yang bersinar pagi itu terasa begitu hangat. Langitnya pun sangat bersahabat, cerah dengan sedikit awan putih yang melayang. Tidak ada kendaraan bermotor di dunia ini, sehingga sangat terjamin kualitas kesegaran udaranya.
Pagi ini, setelah membangunkan tuannya dan membatu Bibi Izumi membuat sarapan, Lucius pergi membeli beberapa alat di pusat kota lalu pergi ke padang rumput tak jauh dari rumah lama mereka.
Sekarang Erix, Lucius dan keluarga Toyotami pindah ke Rumah Fantasma Amity. Siapapun yang menyucikan dungeon, bangunan bekas dungeon itu akan menjadi milik shensin tersebut. Setelah disucikan, dungeon itu menjadi villa kosong tak berpenghuni.
Party Erix telah menyucikan tiga dungeon sehingga tanah atau bangunan dari sisa dungeon itu menjadi milik mereka. Tidak hanya itu, kerajaan juga memberikan beberapa hadiah atas jasa mereka. Dari Dungeon Candi Goblin mereka mendapat 20 buah Batu Mythril. Dari Dungeon Rumah Fantasma Amity mereka mendapat pusaka kerajaan yaitu Giok Tetesan Angin, sebuah giok seukuran telur ayam yang dapat mengeluarkan sihir angin yang dahsyat. Dan dari Dungeon Danau Abyss mereka mendapatkan sebongkah logam super langkah Leavganite, logam alami paling kuat dan keras di Leavgard. Raja juga menghadiahkan satu permintaan apapun pada Erix karena sudah membongkar kebusukan Galdellei Markov.
"Lama!" sahut senada suara wanita dari padang rumput, dia adalah Selina.
"Kau yang terlalu cepat," timpal Lucius.
Setelan yang dikenakan Selina tampak seperti pakaian penduduk biasa, tidak menunjukkan status bangsawan sama sekali. Rambut merah panjangnya ia ikat ke belakang seperti ekor kuda, menyisakan dua poni di setiap sisi dahi. Kecantikannya bahkan tidak bisa ia sembunyikan sedikit pun. Sepertinya Selina sudah siap dengan latihan yang akan Lucius berikan.
"Sekarang, apa yang harus aku lakukan?" tanya Selina.
"Lari," jawab Lucius santai.
"Ha?"
"Ayo!" Lucius segera memelesat mulai berlari.
Spontan Selina menysul di belakang. "Kenapa kita lari?"
"Semua olahraga diawali dengan pemanasan. Lebih cepat panas yaitu dengan lari," kata Lucius.
Luas padang rumput itu mungkin sedikit lebih lebar dari lapangan sepak bola. Tidak terlalu lebar memang, namun itu cukup membuat Selina ngos-ngosan hanya dalam satu kali putaran.
Tiga putaran cukup untung memulai latihan mereka. Matahari yang panas mempercepat proses pembakaran di dalam tubuh. Membuat keringat bercampur ion keluar bercucur deras. Selina terbungkuk kelelahan.
Lucius memberikan sebuah pedang kayu pada wanita itu. "Aku ingin tahu seberapa kuat dirimu," katanya.
"Kau menantangku bertarung? Baiklah, aku tidak akan ragu." Semangat selina kembali berkobar karena pada dasarnya ia memiliki sedikit dendam pada Lucius saat di rumah sakit waktu itu. Lucius hanya diam menanggapi perkataan ini.
Selina mulai mengayunkan pedangnya, membelah angin dari atas ke bawah. Namun, ditepis dengan mudah oleh Lucius.
Selina kembali menyerang, kembali Lucius menangkis serangan itu. Beberapa kali pun Selina mengayunkan pedangnya, menyerang dengan berbagai macam serangan. Tidak ada satu pun dari serangan itu yang berhasil menyentuh Lucius, tidak sulit bagi pemuda itu untuk menepis semua serangan.
"Sekarang giliranku," kata Lucius. Pemuda itu tampak sedikit lebih serius.
Ia mulai melesat dan menebas dengan keras. Selina merasakan hawa membunuh yang kuat dalam serangan itu dan dengan tergesa memblokir serangan. Dua pedang kayu berbentur menghasilkan suata keletok yang nyaring. Kuatnya serangan Lucius membuat tangan Selina terasa sakit. Meski begitu, ia mencoba menahan serangan selanjutnya.
Laju pertempuran sangat berbeda dibandingkan saat Selina menyerang. Serangan Lucius jauh lebih mantap dan tepat sasaran. Tarin pedangnya pun jauh lebih elegan dengan ayunan yang indah namun mematikan. Persis seperti serangan yang biasa Erix tunjukkan.
Hanya dengan tiga benturan keras dari serangan Lucius, pedang di tangan Selinat terlepas.
"Ambil," ujar Lucius. Pedangnya tetap terhunus ke depan.
Selina mengambil pedang kayunya dan langsung melesat menyarang, ia mengayun keras pedang tersebut. Lucius menahan serangan itu dan mendorong balik dengan kuat. Selina terpundur beberapa langkah namun, itu cukup membuat celah untuk lawan menyerang.
Setiap ayunan pedang yang Lucius luncurkan, sangat sulit untuk ditepis oleh Selina. Begitu tangkas dan tertata, bukan dari serangan amatiran yang membabibuta.
Beberapa serangan berhasil menghantam tubuh Selina. Tentu saja wanita itu tidak diam saja, ia melesat dan mencoba membalas. Pedangnya berayun cepat saat menyerang. Sekali lagi, Lucius menepis semua serangan itu.
Tidak sampai di situ, Lucius bergerak dan memutar pedangnya dengan sangat cepat dan menghantamkan pedangnya pada pedang Selina. Kuatnya serangan Lucius memaksa pedang Selina lepas dari tangan, terlempar di atas dan terjatu di genggaman tangan pemuda itu. Selina terdiam dan ia terjerembab kelelahan. Hatinya terasa kesal akan kekalahan tersebut. Dan ia pun menyadari kalau ia memang tidak bisa mengalahkan Lucius.
"Aku mengerti kemampuanmu sekarang. Seranganmu sangat kuat dan cepat namun, kau selau melupakan pertahananmu. Cara menangkismu pun sama seperti anak kecil yang baru belajar memakai pedang. Selain itu, jika kau terpojok, emosimu meluap sehingga kau mengacaukan setiap serangan selanjutnya. Energimu cukup besar, tapi karena seranganmu asal-asalan membuatmu cepat lelah. Secara keseluruhan, cara berpedangmu sangat ... buruk," jelas Lucius.
"Lalu?"
________________________
Lanjutannya bisa dibaca di buku ya ^^
KAMU SEDANG MEMBACA
Dungeon Hallow
Fantasy~Tamat~ CAPTER 1~46 SUDAH TERBIT [Dungeon Hallow : Datangnya Sang Pahlawan] CAPTER 46~94 SUDAH TERBIT [Dungeoh Hallow II : Pemuja Iblis] CAPTER 95 ~ 145 SUDAH TERBIT [Dungeon Hallow III : Kerajaan Albion] CAPTER 146 ~ 180 SUDAH TERBIT [Dungeon Hallo...