JAM pelajaran keempat, sebelum istirahat, diisi oleh pelajaran tedahsyat, Matematika, membuat kepala para murid XI-C berputar berat. Selama 40 menit, mereka dipaksa untuk berpikir keras untuk menjawab pertanyaan angka yang dilengkapi huruf. Di detik-detik terakhir pelajaran, mata Sang Guru tertuju pada satu murid yang duduk di pojok dekat jendela. Bunyi hentakan sepatu yang menggema makin lama makin mencekat saat mendekati satu murid itu. Satu murid yang bandelnya minta ampun. Sangat minta ampun, hingga membuat semua orang di sekolah itu hanya bisa geleng-geleng kepala melihatnya.
"Rio!!" panggil guru tersebut sambil menggebrak meja laki-laki itu dengan buku tebalnya.
Sang Empunya Nama hanya duduk santai, masih berkutat dengan komiknya, membuat Bu Joan, Sang Guru Matematika, semakin memanas. Kakinya disilangkan layaknya di warung tegal. Sambil mengemut permen di mulutnya, ia menatap datar gurunya yang sedang berasap itu.
"Kamu mau saya keluarkan dari kelas ini?!"
"Wah, boleh tuh, Bu!" balas Rio dengan wajah berseri.
Bu Joan menarik nafasnya kesal. Kemudian, diusapnyalah wajahnya yang sedang memerah dan panas, berusaha untuk tidak melayangkan sesuatu kepada laki-laki itu. "Mana PR kamu yang sebulan lalu?! Yang minggu lalu juga!"
"Minggu lalu ada PR?" tanya Rio bingung. "Eh, Pip, emang minggu lalu ada PR, apa? Kok gue gak tau sama sekali? Lo kerja kok gak bagi-bagi gue, sih?" tanyanya lagi kepada Afif, teman sebangkunya, yang sedang asik menutup wajahnya malu.
"Ricardo Naraya Wijaya!" Tak tahan lagi, Bu Joan segera menjewer telinga Rio dan merampas paksa komik kesayangannya. "Liat nih! Kerjaanmu daritadi cuman baca komik gak guna kayak gini, buku tulis kosong, PR gak dikerjain! Niat sekolah gak sih??"
Rio mendengus kesal sambil mengelus telinganya yang nampaknya makin kendur. "Ya, Bu Joana Ananta, besok saya kumpulkan, maaf ya Bu Guru Cantik..." ucap Rio sambil tersenyum manis.
Wajah Bu Joan semakin memerah. "Maaf, maaf! Emang lebaran! Bohong kamu! Dari kemarin ngomongnya gitu terus!" bentak Bu Joan menggebrak meja Rio dengan bukunya lagi. "Bisa mati muda saya nagih PR kamu terus dari kemarin!"
"Hehe.. kalo ibu mati, saya janji saya bakal nguburin ibu,"
Sempat ada asap keluar dari telinga dan hidung Bu Joan sangking kesalnya. "Dasar murid kurang ajar! Kamu gak boleh istirahat! Sebentar lagi, kamu ikut saya ke ruang guru! Biar tau rasa kamu!" perintah Bu Joan sambil membawa komik sitaan Rio ke meja guru di depan.
Mari kita melakukan perkenalan dengan satu cowok gila ini.
Ricardo Naraya Wijaya, akrab dipanggil Rio. Hasil peranakan semata wayang dari Sang Kepala Sekolah, Roy Wijaya dan Sang Chef keturunan asli Jerman, Rina Araya yang tidak sengaja tercampur dengan bahan kimia berbahaya yang membuatnya menjadi Sang Pembuat Onar nomor satu se-jagat raya. Meski sudah bolak-balik masuk-keluar ruang BP, ia masiihhhhh saja hobi berbuat onar. Dengan jabatan kebanggaan milik ayahnya itu, dia menganggap dia bisa berperilaku seenak jidatnya di dalam maupun luar sekolah.
Hobinya adalah membuat para guru kesal dengan setiap hari tidak mengerjakan PR, berada di kantin atau lapangan olahraga saat pelajaran sedang berlangsung, menggoda para pedagang kantin untuk menggratiskan makanannya sampai berlawak ria saat di kelas agar para guru tidak bisa melanjutkan pembelajaran [Jangan ditiru!]. Tentu saja ia bisa berkelahi, tapi itu bukan hobinya. 'Hati saya ini hati hello kitty kok.' begitu katanya.
Baju yang tidak dimasukkan, membuatnya semakin jelas jika ia adalah pembuat onar. Ada garis bule turunan dari ibundanya: hidungnya mancung, bola mata coklat terang, dengan janggut tipis (a.k.a brewok) yang dibiarkan begitu saja, menambah sisi maskulin nan tampan yang menempel pada dirinya. Membuat para kaum hawa histeris melihatnya.
Oke, perkenalan habis.
Rio menyeret kakinya malas ke arah ruang guru. Di saat temannya bersantai-santai di kantin, dia malah berkesal diri di ruang guru, sekaligus menerima tatapan sinis dari para pahlawan—tanpa tanda jasa—yang menyimpan berbagai dendam terhadapnya.
Laki-laki itu berdiri di samping meja Bu Joan, mendengarkan yang punya meja berceramah panjang kali lebar kali tinggi. Masa bodo bagi Rio. Ia sudah terbiasa seperti ini. Masuk kuping kanan, keluar kuping kiri. Sambil menggumam pelan lagu yang dinyanyikannya, Rio menatap datar Bu Joan di depannya yang sedang mengoceh ria. Kepalanya diangguk-anggukan pelan sesekali agar ia terlihat mendengarkan guru wanita itu dengan seksama.
"Dasar kamu ya! Besok Senin kamu harus bawa PR kamu!" perintah Bu Joan kesal.
"Rio! Kamu juga harus kumpulin makalah Bahasa Indonesia kamu besok Senin!" perintah Pak Ipul yang tiba-tiba muncul di ujung meja Bu Joan, ikut menagih.
"Makalah apa, ya, Pak?" tanyanya tanpa dosa.
"Jangan pura-pura amnesia kamu! Makalah Ilmiah! Ayolah, Rio. Nggak bisa, apa, buat saya seneng satu hari aja dengan kamu inget PR-mu?!" jawab Pak Ipul setengah kesal.
"Ayolah, Pak.. Nggak bisa, apa, buat saya seneng satu hari dengan Bapak tidak memberi saya tugas??"
Guru laki-laki itu memejamkan matanya seraya menarik nafas dalam, masih berusaha menahan amarahnya terhadap laki-laki ini. "Kamu mau nilai bahasamu nol? Silahkan saja! Saya sudah capek nagih tugas sama kamu."
Rio mendesah pelan. "Harus besok Senin, Pak?" tanyanya dengan memasang wajah lelah.
"Iyalah! Harus! Kamu udah telat satu bulan!" amuk Pak Ipul sambil memijit pelipisnya.
"Hehe.. Emangnya saya mau hamil, Pak? Pake telat-telat segala," canda Rio sambil tertawa pelan membuat Pak Ipul ingin melempar kursi ke wajahnya sekarang.
"Permisi, Bu Joan,"
Ketiga makhluk itu otomatis menolehkan kepalanya ke belakang, tepatnya ke sumber pusat suara itu. Rambut lebat nan hitam, jaket ungu, mata besar dibingkai dengan kacamata bundar berbingkai warna hitam. Hmm, cantik. Pake kacamata aja cantik, apalagi nggak. Itu yang ada di pikiran Rio pertama kali. Mata Rio menganalisis wajah sampai kakinya, lalu naik lagi ke wajah, dan akhirnya berhenti pada bagian sebelah kiri anak itu, melihat badge nama yang agak tertutup jaket ungunya.
Seli Adelia R.
Laki-laki itu lalu melirik kepada Bu Joan yang tiba-tiba tersenyum senang. "Ya, Seli, ada perlu apa?" tanya Bu Joan riang nan lembut, membuat Rio melemparkan tatapan tidak percaya.
Seakan sadar ada bagian tubuhnya yang diperhatikan oleh laki-laki di sebelahnya, Seli segera memperat balutan jaket di tubuhnya yang mungil dan sedikit bergetar. Gadis itu lalu datang kepada Bu Joan dan tak lupa ia menjaga jarak dari Rio, seakan Rio adalah hal najis padanya. "Bu, ini tugas-tugas kelas XI-A kemarin." ucap Seli sambil memberikan tumpukan kertas dan tentu saja disambut oleh Bu Joan dengan senang hati.
"Nah, coba kamu sekali-sekali kayak Seli!" sambung Pak Ipul yang tertuju kembali pada anak bandel nomor satunya. "Baik, cantik, pinter, rajin, duh kurang apa lagi coba?? Pengen saya ambil mantu kamu, Nak."
Seli hanya tersenyum tipis dan segera membungkukkan badan sembilan puluh derajat. "Saya permisi dulu." Seli lalu meninggalkan mereka berdua [ditambah Rio] didalam ruang guru.
●▪●▪●
---------------------------------------------------------
P.S :Terimakasih sudah mampir😊
Nantikan update-annya terus ya♡
Maafkan jika ada kesalahan🙏saya masih baru sih, hehehe
Jangan lupa VOTE, comment, dan follow yah☆Thankyou
감사합니다

KAMU SEDANG MEMBACA
Arrhenphobia [END]
Genç Kurgu#1 in phobia Pertemuan dengannya di ruang guru membuat Rio;cowok bandel nan tampan; terus penasaran dengan satu gadis yang selalu menganggap dirinya hama. Gadis yang selalu membawa inhaler dimanapun ia berada. Gadis yang selalu gondok jika bertemu d...