who?

42 5 0
                                    

Senja POV

Pelajaran pun di mulai sejak tadi dan hampir mendekati jam istirahat. Aku melirik Kirasuma yang asik memindahkan isi tulisan di white board ke buku catatannya. Kirasuma serius banget belajarnya. Aku juga ngga boleh main-main! Aku harus serius biar bisa sukses sama Kirasuma! Banyak pelajaran yang aku lewatkan dan aku ngga boleh menyerah! Ya aku harus bisa.

"Baiklah sampai disini apa ada pertanyaan?" tanya Pak Supri --guru matematika-- kepada semua murid setelah selesai melakukan kesibukannya.

Semua murid terdiam.

"Baiklah kalau tidak ada pertanyaan. Berarti kalian siap menjawab pertanyaan bapak di papan tulis" kata Pak Supri sambil beranjak dari kursi dan berjalan ke depan white board untuk menuliskan pertanyaan yang beliau maksud.

Semua siswa menjadi tegang dan sebagian ada yang menahan napas ketika Pak Supri menuliskan deretan angka tanpa penjelasan di white board.

"Bapak kasi hadiah untuk orang yang bisa jawab pertanyaan ini"

Mendengar pertanyaannya, banyak murid yang langsung menunduk dan mulai memperhitungkan jawaban dari pertanyaan itu. Ada juga yang ngga ikut andil. Satu kelompok lainnya tidak mengerjakan dan merengek minta istirahat. Aku memperhatikan soal baru di white board itu. Ah, soal aritmatika? Materinya sudah pernah diajarkan waktu aku di London. Gampang ini mah.

"Ayo, siapa yang mau maju?" tanya Pak Supri sekali lagi sembari berjalan ke arah mejanya.

Dengan cepat aku mengacungkan tangan dan berkata "Saya pak!"

Pak Supri langsung memerintahku sambil meletakkan spidol di hadapannya. Aku pun beranjak dari kursi dan berjalan ke white board. Aku tak menghiraukan tanggapan perempuan yang duduk di depanku. Seolah aku adalah pangerannya. Haah. Susah ya jadi orang ganteng.

"Silakan jawab pertanyaan nya"

Aku segera menjawab soal itu. Dalam 3 menit, aku berhasil menyudahi soal dari Pak Supri.

"Ok. Silakan duduk!" kata Pak Supri setelah mengamati jawabanku.

Pak Supri memeriksa lagi jawabanku dan aku kembali ke tempat dudukku. Semua mata melihat kearah white board, termasuk Pak Supri. Atmosfir berubah menjadi agak tegang.

"Siapa nama mu anak baru?" tanya Pak Supri setelah balik badan.

"Senja, Pak" jawabku.

Kirasuma menatapku heran.

"Lah kamu kenapa?"

"Kamu mau ngga ajari aku caranya gimana?" tanya Kirasuma yang masih menatap Senja.

"Insya allah ya, Lah. Aku ngga bisa janji," balasku dengan senyum andalan.

Tanda centang besar terpampang tepat disebelah pertanyaan yang aku jawab tadi. Hal itu berhasil membuat semua pasang mata yang ada dikelas menatapku takjub.

"Hey what wrong? Apa ada yang salah?" tanyaku heran dan langsung mendapatkan balasan gelengan serempak dari satu kelas.

"Menurut bapak, jawaban yang kamu tulis itu sangatlah panjang. Tapi itu membuat jawaban kamu menjadi jelas."

"Thank you, Sir"

"Woy gausah pake Bahasaa Inggris kali! Bahasa Indonesia mu 'kan fasih" bisik Kirasuma kepadaku sambil menyenggol pelan.

"Biarin~" balasku.

Kirasuma mendengus dan aku hanya bisa mengikik pelan.

"Pak, masih ada pertanyaan lagi nggak?" tanya Kirasuma setelah mengacungkan telapak tangannya.

Ngga mau kalah dia.

"Umm, sayang sekali tidak ada, Kirasuma. Soalnya sudah mau istirahat. Besok bapak kasih lagi."

"Baik, Pak" nada suara Kirasuma terdengar kecewa.

Khikhi. Yang sabar, Lah. Belum rejeki.

"Halah cuma karena ada anak baru trus duduk di sebelahnya aja mau jawab pertanyaan Pak Supri. Sok banget sih" suara cempreng berhasil menerobos kerumunan suara bisik yang mirip suara tawon.

Matanya melirik Kirasuma dari sudut matanya dan memainkan sebatang pulpen di depan matanya. Perkataannya itu menyakitkan. Jika aku jadi pulpennya aku akan menusuk matanya dalam-dalam. Siapa sih dia? Omongan kok nggak bisa dijaga? Pandanganku langsung berubah tajam ke arah mata yang barusan melirik sinis yang kini tengah fokus ke arah pulpen yang dia pegang. Tanpa sadar tanganku mengepal di atas meja. Kebiasaanku kalau marah. Aku sangat kesal. Ingin rasanya aku meninju muka sok-nya di depan banyak orang. Andai saja cap 'anak baru' tak melekat erat padaku. Hal itu membuatku tak boleh melakukan kesalahan di sekolah ini. Apalagi di hari pertamaku. Saat amarahku telah mendidih, sentuhan hangat membalut kepalan tanganku. Seolah memberiku kode untuk meredam emosiku yang siap untuk meluap-luap.

"Sudah biarkan aja," katanya dengan nada menenangkan.

"Dia siapa, sih? Kok omongannya ngga dijaga?" aku mulai marah dan hampir menaikkan nada bicaraku.

"Stt ... sudah, dia emang suka gitu. Sudah ya, jangan marah. Sekarang Jaja harus fokus belajar dulu, supaya Jaja bisa berhasil. Ya?"

Tatapan mata Kirasuma berhasil memadamkan api amarahku. Aku menghela kasar lalu mengangguk. Kami pun kembali fokus ke pelajaran yang sesaat lagi hampir selesai. Detik berikutnya bel istirahat berbunyi.

Pak Supri menutup kelas dan langsung dibalas seluruh murid di kelas ini. Setelah mengemasi barangnya, Pak Supri melengang pergi meninggalkan kelas IX-A.

“Lah, ke kantin yuk!” seorang gadis menyapa Lalah diekor oleh gadis lainnya.

Aku perhatikan dia bukan perempuan tadi.

“Kirasuma, mereka siapa?”
tanyaku membisik.

“Oh iya kenalin Senja, ini Vina dan ini Ria. Mereka sahabatku yang sekarang.”

“Hai Senja~” sapa mereka sambil tersenyum yang langsung ku balas ramah.

Bukan orang jahat toh. Lega.

"Yang sekarang? Maksudnya?" tanya Vina yang menampilkan kernyitan di dahinya.

"Ah, jadi Senja ini sahabatku dari kecil. Tapi habis itu dia pergi ke London sepuluh tahun lalu,"

"Sepuluh tahun lalu?" kali ini Ria yang bersuara memastikan.

"He.eh" Kirasuma mengangguk dan mereka ber-oh bersamaan.

“Ya sudah ke kantin yuk!” seru Vina.

“Duluan aja, nanti aku nyusul. Aku mau ke toilet dulu.”

“Kita tungguin, ya?” paksa Ria.

“Ngga usah! Nanti kalian ngga sempet makan” Kirasuma menampik sembari membereskan buku-bukunya yang ada di meja.

“Aiiihh, ya sudah deh. Tapi bener nyusul ya, awas sampai engga!”

“Iya iya“

Mereka pun keluar kelas.

“Lah, tadi kamu bilang kamu mau ke toilet?” tanyaku.

“Iya. Aku ke toilet dulu, ya,” ujar Kirasuma sambil berdiri.

“Aku tunggu disini, ya”

“Ok”

To be continue

Melukis Senja {Revisi} Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang