55 - fünfundfünfzig

22K 1.4K 197
                                    

LEA's POV

Gue nunjukin alamat dari Sakti ke pak taksi dan begitu nyampe, gue buru - buru lari ke ICU.

"Lea!" Dea meluk gue yang langsung nangis di bahunya.

"Tenang ya Le. Dio lagi diperiksa di dalem." Dea ngelus punggung gue.

Setelah sebisa mungkin gak nangis, gue nanya ke Sakti, "Lo udah kabarin Tante Anya?"

"Belom. Gue nunggu lo."

Gemeteran, gue buka hape dan telefon Tante Anya. Tapi percuma, telefonnya gak diangkat. Gue yakin Tante Anya udah tidur.

"Gue perlu jemput nyokapnya Dio?" Sakti menawarkan diri.

"Gak usah Sak. Kayaknya Tante Anya udah tidur. Besok aja kita kabarin lagi."

Gue nunggu di depan ruang ICU, sampai sekitar jam setengah 1 pagi, dokter keluar dari ruang ICU dan bilang kalau Dio udah bisa dipindahin ke ruang rawat. Gue bisa liat, dia kebaring di situ dengan kepala, tangan, dan kaki yang diperban.

. . . .

"Lo gak pulang?" Dea tanya sewaktu Dio udah selesai dipindahin ke ruang rawat.

"Gue masih harus kabarin Tante Anya besok. Gue mau di sini."

"Yaudah, gue temenin lo ya?"

"Gue juga. Lagian besok hari Minggu."

Gue duduk di kursi samping kasur tempat Dio berbaring, sementara Dea dan Sakti duduk di sofa.

10 menitan kemudian, Sakti bilang, "Le, gue sama Dea cari makan dulu ya."

"Lo mau dibeliin apa?" kali ini Dea yang nanya.

"Kalian aja, gue gak laper."

. . . .

DEA's POV

"Lo mau dibeliin apa?" gue nanya Lea yang masih duduk di samping Dio.

"Kalian aja, gue gak laper."

Gue tau. Tanpa ada kejadian kayak gini, Lea itu paling susah kalau disuruh makan. Apalagi sekarang, yang ada di pikiran dia pasti cuma Dio. Yang gue khawatirin adalah, gimana kalau Lea sakit lagi? Dia belum sepenuhnya sembuh gara – gara kejadian beberapa hari lalu.

. . . .

Gak banyak kantin rumah sakit yang masih buka jam segini. Di antara 2 yang buka itupun, gak ada menu yang gue suka. Sakti akhirnya ngajak makan nasi goreng di depan rumah sakit.

"Kamu pasti jadi benci Dio ya?" gue tanya ke Sakti yang sekarang lagi ngelamun.

"Gak kok." Dia buyarin lamunannya dan liat gue.

"Trus?"

Sakti geleng, "Gak tau juga. Selama bertahun – tahun sahabatan sama tuh kunyuk, belom pernah dia sejahat ini."

"Kalau menurutku ya, Dio kayak gini karena dia suka Lea."

"Jangan bercanda deh, yang. Mana mungkin? Menurut aku yang sesama cowok, apa yang Dio lakuin itu udah keterlaluan. Kalo Dio suka Lea, masa tega dijadiin taruhan gitu?"

"Iya. Awalnya aja karena taruhan. Tapi gak ada yang tahu kalau mungkin dia sekarang suka beneran."

. . . .

Waktu balik ke kamar, gue udah liat Lea tidur. Kepalanya ada di kasur dan tangannya gak pernah lepas dari tangan Dio. Gue dan Sakti tidur di sofa. Gak. Maksud gue Sakti doang karena gue bukan orang yang bisa gampang tidur di mana aja. Jadi, semaleman gue cuma liat Sakti tidur sambil sesekali nonton youtube karena wifi rumah sakit lumayan kenceng.

VIDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang