Karena kejadian kemarin Aliya sampai tidak pergi ke sekolah selama dua hari ini. Aliya sebenarnya sudah cukup kuat untuk kembali beraktivitas hanya saja mama Diana memaksanya untuk beristirahat di rumah, bahkan mama Diana sampai ambil cuti dan tidak pergi ke butik untuk menemani Aliya di rumah.
"Ma, Aliya bisa makan sendiri."
"Nggak, mama suapin. Kalau kamu makan sendiri kamu nggak akan habiskan makananya. Ingat yang di bilang dokter kemarin kan?" Mama Diana menjauhkan mangkuk yang berisi bubur dari jangkauan Aliya.
Memang ketika kemarin Aliya sampai di rumah, Raga langsung menelpon mama Diana kemudian menghubungi dokter yang merupakan kenalan ayahnya.
Mama Diana kemudian menyuapi Aliya dan Aliya terpaksa membuka mulutnya, baru beberapa sendok makanan yang masuk di perutnya Aliya langsung berlari ke kamar mandi untuk memuntahkannya kembali.
Mama Diana ikut panik dan berlari ke kamar mandi menyusul Aliya yang sedang berusaha memuntahkan isi perutnya.
"Sayang," mama Diana memeluk Aliya erat. Inilah alasan mengapa Aliya di larang untuk berangkat sekolah dulu.
Semenjak insiden kemarin Aliya jadi sering muntah dan merasa mual. Walaupun Aliya selalu bilang bahwa dia sudah kuat tapi mama Diana tetap tidak akan percaya karena wajah Aliya sangat pucat.
"Sayang," mama Diana menangis sambil memeluk Aliya.
"Mama jangan nangis Aliya baik-baik saja kok." Aliya berusaha menenangkan mamanya dan tersenyum dengan bibir pucatnya.
Mama Diana menghapus air matanya, "Kamu makan lagi ya, sedikit aja terus kamu minum obat."
Aliya menggelengkan kepalanya karena menurut Aliya kalau dia kembali memaksakan untuk makan perutnya akan kembali mual dan dia akan memuntahkannya lagi.
"Tapi kamu harus minum obat sekarang!" Mama Diana membujuk Aliya dan Aliya menganggukkan kepalanya.
"Iya," jawab Aiya.
Aliya dan mama Diana keluar dari kamar mandi. Mama Diana menuntun Aliya untuk kembali duduk di tempat tidur.
Dengan telaten mama Diana mengambilkan obat yang harus di minum Aliya di atas nakas yang berada di samping tempat tidur Aliya.
Aliya sudah selesai meminum obat dan tiba -tiba pintu kamarnya di ketuk dari luar.
"Bu, ada temannya neng Aliya datang menjenguk." Ucap bi Siti yang masuk ke dalam kamar Aliya.
"Oh iya makasih bi," ucap mama Diana kepada bi Siti. "Sayang mama kebawah dulu lihat siapa teman kamu."
Aliya mengangguk dan mama Diana keluar bersama bi Siti.
Tak lama kemudian mama Diana kembali masuk bersama dengan orang yang di sebut sebagai teman Aliya.
Aliya awalnya mengira bahwa yang datang menjenguknya adalah Vallen tetapi dia salah, Zio lah yang menjenguknya.
"Kak Zio?" Aliya terkaget karena Zio datang menjenguknya, ini masih jam sekolah apa dia bolos?
"Ya sudah kalau begitu mama keluar dulu mau bantu bi Siti di dapur." Mama Diana tersenyum ke arah Aliya dan Zio.
"Iya tante. Terimakasih sudah izinin Zio jenguk Aliya." Ucap Zio sopan.
Mama Diana menepuk pundak Zio pelan dan keluar dari kamar Aliya.
Setelah mama Diana keluar Zio melangkah mendekati Aliya yang sedang duduk bersandar di tempat tidur.
"Lo udah baikan? Maaf baru bisa datang jenguk soalnya selama dua hari kemarin gue ada olimpiade di Surabaya dan hari ini baru pulang. Jadi gue sempetin ke sini jengukin lo."
"Iya nggak papa kak. Kak Zio tahu dari mana kalau Aliya sakit?"
"Dari Vallen soalnya gue kha-" Zio menghentikan ucapannya karena hampir saja dia keceplosan bilang bahwa selama dia di Surabaya, Zio merindukan dan khawatir kepada Aliya.
Aliya mengerutkan alisnya karena tidak paham. "Kak Zio mau bicara apa?"
"Oh nggak, gue tadi habis dari sekolah bentar dan saat gue liat di kelas lo, lo nggak ada. Jadi gue tanya aja Vallen dan dia bilang lo nggak masuk selama dua hari ini." Jawab Zio tak sepenuhnya bohong.
Zio memang sempat pergi ke sekolah sebentar untuk menemui kepala sekolah. Sekedar memberikan piagam dan sebagainya kepada pihak sekolah.
Dengan semangat Zio pergi kekelas Aliya karena rindu, dia tidak bisa melihat Aliya dan senyum manis gadis itu selama dua hari karena saat di karantina tidak di perbolehkan menggunakan alat komunikasi.
Ketika sampai di kelas Aliya, Zio tidak melihat keberadaan Aliya begitupun dengan tas milik gadis itu.
Saat ingin meninggalkan kelas Aliya, Zio melihat Vallen dan langsung saja dia bertanya dimana Aliya.
Ketika mendapat kabar bahwa Aliya tidak sekolah selama dua hari karena sakit dengan terburu-buru Zio pergi ke rumah Aliya karena rasa khawatir.
"Oh gitu. Terus kenapa kakak nggak sekolah?" Tanya Aliya bingung.
"Gue di kasih libur satu hari sama guru pembina gue dan kepala sekolah juga setuju. Ya udah sih." Jawab Zio acuh karena sebenarnya ada untungnya juga dia di beri libur.
"Oh iya gue lupa. Lo sakit apa?"
Aliya di buat mematung dengan pertanyaan yang diajukan oleh Zio. Apakah dia harus jujur atau harus menutupinya.
Aliya menengguk salivanya sebelum menjawab pertanyaan Zio. "A-aku cuma deman kok kak."
Tanpa di duga Aliya, Zio menempelkan punggung tangannya ke kening Aliya.
"Lo demam? Tapi udah nggak panas. Masa sih bisa sembuh cuma dua hari aja?" Tanya Zio heran.
"Ah syukurlah kalau sudah turun panasnya." Sambung Zio.
Diam-diam Aliya menghela napas lega karena Zio tidak bertanya terlalu jauh.
"Yaudah karena lo udah mendingan gue pamit pulang ya. Gue udah janji sama adek gue buat temenin ke rumah paman gue," Zio berdiri dari duduknya. Tapi sebelum dia beranjak tidak sengaja matanya menatap obat yang berada di atas nakas Aliya.
"Ini obat lo?" tanya Zio sambil menunjuk obat yang dia maksud. "Obat apa ini? Setahu gue obat demam bukan kayak gini."
Aliya tersentak kaget dan melihat Zio yang sedang memperhatikan semua obat yang dia pegang.
"I-itu cuma... Vitamin, antibiotik, penambah darah sama penurun panas saja kok." Aliya menjawab gugup. Pasti mamanya lupa menyimpan kembali obatnya ke dalam kotak obat.
Zio mengerutkan alisnya. "Banyak banget obatnya. Ih gue sih ogah minum obat sebanyak gini."
Zio kembali meletakkan obat yang di pegangnya ke atas nakas. Aliya bersyukur di dalam hati Zio tidak curiga.
"Yaudah gue balik dulu. Semoga cepat sembuh." Setelah mengatakan itu Zio keluar dari kamar Aliya dan menutup pintu kamarnya.
Di luar kamar Aliya, Zio tidak langsung pergi melainkan berdiri sejenak.
"Ada yang lo sembunyiin Aliya. Gue tahu jelas itu semua bukan obat yang lo sebutin," batin Zio.
Zio menghela napas dan berusaha menyingkirkan prasangkanya. Zio harap dugaannya tidaklah benar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Smile in the pain
Teen FictionAku tersenyum untuk menyembunyikan sakit ku. Aku tertawa untuk meredam jeritan ku. Aliya. Kita sama-sama menyembunyikan banyak hal. Banyak hal yang menyatukan kita tapi kita terlalu bodoh untuk menyadarinya. David. Permainan takdir memang lu...