Ruangan bercat putih dengan aroma obat-obatan itu didominasi dengan keheningan meskipun terdapat tiga orang di dalamnya.
Pandangan kedua orang tersebut hanya terfokus pada tubuh ringkih yang saat ini terbaring lemah di ranjang rumah sakit tanpa ada niatan sedari tadi untuk membuka matanya.
“Aliya sayang, kamu kapan bangunnya ini udah tiga hari dan kamu belum sadar sayang.”
Air mata yang sedari tadi Mama Aliya tahan kembali mengalir ketika melihat keadaan anaknya yang masih sama dari hari pertama dirawat.
“Aliya nggak kangen Mama, hem? Mama kangen dengar ketawa Aliya. Di rumah sepi kalau nggak ada kamu sayang.”
“Kamu pernah bilang untuk selalu bangain mama kan? Sekarang kamu bangun ya sayang,” Mama Aliya membelai halus pucuk kepala Aliya merapikan rambut yang sedikit menutup matanya.
Zio yang sedari tadi diam mendengar Tante Diana membujuk Aliya untuk bangun walaupun tidak mendapat balasan mulai melangkah mendekat.
“Tante, Tante lebih baik istirahat dulu dari kemarin Tante belum istirahat sama sekali.”
Mama Aliya menggeleng lemah, “Tidak Zio. Tante nggak bisa tinggalin Aliya sendiri. Dia selalu merasa sendiri selama ini karena teman-temannya dulu menjauhi Aliya karena fitnah yang menimpa Ayahnya. Aliya selalu kesepian Tante nggak mau ninggalin Aliya.”
Zio memang sudah tahu mengenai insiden yang terjadi pada ayah Aliya karena gadis itu pernah bercerita dengannya.
“Tapi Tante dari kemarin belum tidur bahkan Tante cuma makan satu kali itupun hanya sedikit. Kalau Aliya tau pasti Aliya sedih karena Tante yang nggak perhatiin kesehatan Tante.”
Mama Aliya terdiam memikirkan ucapan Zio dan kemudian mengangguk.
Zio tersenyum melihat Mama Aliya yang mendengar ucapannya, “Tante pulang aja dulu, nanti sore baru ke sini. Aliya biar Zio yang jagain.”
“Ya sudah kalau begitu Tante pulang dulu. Tante titip Aliya ya Zio.”
Mama Aliya beranjak dari duduknya dan kemudian keluar dari ruang rawat Aliya.
Setelah Mama Aliya keluar Zio mendudukkan dirinya ke tempat yang semula di tempati Mama Aliya.
“Hei Putri tidur nggak capek tidur terus?” Zio mengajak Aliya berbicara walaupun hanya hening yang menjawab.
“Banyak yang kangen sama lo tahu. Mama lo juga khawatir anak kesayangannya ini bandel karena masih tidur.”
“Lo cewek terkuat yang pernah gue kenal dan gue yakin lo bakal sadar dan buktiin ke kita semua kalau lo kuat.”
*****
Di ruangan berbeda yang tak jauh dari ruangan Aliya, kini terbaring seorang cowok yang menatap malas kedua sahabatnya yang sedari tadi mengintrogasinya tanpa henti.
“Vid, jawab pertanyaan gue!”
David menghela napas, “Pertanyaan yang mana?”
“Yang tadi.”
“Pertanyaan lo tadi itu banyak banget kayak daftar belanja bulanan emak-emak mana gue ingat.”
Rio terkekeh sambil menggaruk belakang lehernya, padahal tidak gatal hanya salah tingkah.
“Itu lo beneran punya kepribadian ganda?”
David menjawab dengan malas, “Hem.”
“Namanya beneran Vero?” kini gantian Rian yang bertanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Smile in the pain
Roman pour AdolescentsAku tersenyum untuk menyembunyikan sakit ku. Aku tertawa untuk meredam jeritan ku. Aliya. Kita sama-sama menyembunyikan banyak hal. Banyak hal yang menyatukan kita tapi kita terlalu bodoh untuk menyadarinya. David. Permainan takdir memang lu...