Setelah melakukan sholat zuhur berjamaah di mushola sekolah, David, Rio, dan Rian berjalan menuju rooftop sekedar untuk menunggu bel masuk berbunyi.
Ketika sampai di sana, Rio langsung membaringkan tubuhnya ke bangku yang dia susun memanjang agar bisa menjadi alas tubuhnya. Sementara Rian dan David duduk di bawah tidak memikirkan debu yang akan menempel di celana sekolah mereka.
Selama beberapa menit mereka hanya di ributkan oleh celotehan Rio dan Rian. Entah itu tentang game yang sedang terkenal, jadwal pertandingan sepak bola, bahkan kucing Rio yang baru saja melahirkan anak empat ekor.
"Yan, asal lo tau ya. Pas gue lihat Camut mau lahirin kok gue ya, yang jadi panik. Lebih parah lagi waktu Camut ngeong-ngeong, gue ngikut ngeden kayak mau lahiran juga."
Camut adalah nama yang Rio berikan untuk kucingnya. Camut itu adalah singkatan dari kata 'cantik dan imut.'
"Wow bagus dong!"
Rio mengernyit dan menatap Rian bingung. "Bagus apa? Bagus gue dapat ponakan baru empat ekor?"
"Bukan. Maksud gue, bagus karena kalau nanti istri lo kelak lahiran jadi lo udah punya pengalaman."
Rio tersenyum lebar. "Bener lo, Yan. Pemikiran lo ternyata jauh kedepan ya? Gue salut sama lo."
Rian menepuk dadanya bangga.
"Oh iya, Yan. Tapi gue sedih juga nih," wajah Rio yang tadi tersenyum hilang digantikan dengan raut kesedihan.
Rian mengangkat sebelah alisnya. "Sedih apaan?"
Rio mengulum bibir bawah sedih. "Gue sedih solanya kucing jantan yang hamilin kucing gue nggak mau tanggung jawab dan tak tahu di mana keberadaannya. Jadi anak-anaknya Camut jadi yatim. Kan gue sedih mereka hidup tanpa kasih sayang seorang ayah."
"Ya, lo aja yang jadi ayah anaknya si Camut. Gitu aja kok ribet," ucap Rian dengan santai.
Rio memukul belakang kepala Rian sehingga kepalanya terhuyung ke depan. "Lo kira gue kucing?!"
Rian cengengesan sambil mengusap belakang kepalanya yang habis di pukul oleh Rio.
Rio menghela napas dan tanpa sengaja melihat ke arah David yang sedari tadi diam sambil tersenyum.
Rio mengerjabkan matanya cengong. 'Kerasukan dah tuh bocah?' batinnya.
Rio mencolek pundak Rian yang duduk di bawahnya sambil memainkan ular tangga yang ada di ponselnya. "Yan!"
"Paan?" jawab Rian dengan cuek.
"Yan! Yan!"
Rian memukul tangan Rio yang sedari tadi mencolek pundaknya. "Apaan sih, lo?"
Rio mengarahkan telunjuknya ke arah David dan dengan penurut Rian mengikuti arah tunjukan Rio.
"Yan. David kenapa ya? Kok senyam senyum aja dari tadi?"
"Gue juga nggak tau, Yo."
"Kok gue tiba-tiba jadi merinding gini, ya?"
"Sama."
"Vid!" Rian memanggil David yang duduk di sampingnya.
"Ya?" jawab David tanpa melihat ke arah si penanya dan masih saja tersenyum.
"Ini lo kan?"
"Hm."
"Ini beneran lo kan?"
"Hm."
Reaksi David masih sama tanpa berubah sedikit pun.
"Yo, gue curiga ini bukan David."
Rio menganggukkan kepala setuju. "Cuman ini satu-satunya cara."
KAMU SEDANG MEMBACA
Smile in the pain
Teen FictionAku tersenyum untuk menyembunyikan sakit ku. Aku tertawa untuk meredam jeritan ku. Aliya. Kita sama-sama menyembunyikan banyak hal. Banyak hal yang menyatukan kita tapi kita terlalu bodoh untuk menyadarinya. David. Permainan takdir memang lu...