PERTANYAAN

949 20 2
                                    

Pagi yang cerah, matahari bersinar dengan semangat seakan tak mengenal kata leleh. Tapi tidak dengan yang di alami oleh Rio.

Sedari tadi dia mengeluh mengatakan bahwa kepala sekolah sangat lama menyampaikan amanatnya, tidak memikirkan nasih muridnya yang sedang kepanasan dan lelah dari tadi berdiri sepanjang upacara.

“Pak Husein nggak capek apa dari tadi ngomong terus? Kita yang dengar aja udah capek. Nggak pengertian banget sih dia mah enak di podium adem tempatnya. Nah kita berdiri di lapangan yang nggak ada teduh-teduhnya sama sekali,” Rio menghela napas dan mengibas-ngibaskan topi sekolah yang sudah beralih fungsi menjadi kipas.

“Sama,” ucap David.

Rio menoleh ke arah David yang berada di sampingnya. “Iya kan benar yang gue bilang. Buktinya lo aja setuju sama pemikiran gue, Vid.”

“Sama. Lo juga nggak capek apa dari tadi ngoceh? Kita aja yang dengar capek.”

Rian yang berada di depan Rio sontak terkikik pelan mendengar balasan David yang sangat jujur.

“Vid, lo kok malah nyalahin gue? Salahin Pak Husein lah, gue nggak akan ngebacot gini terus kalau Pak Husein nggak ngomong mulu dari tadi. Udah 20 menit lebih kita berdiri dia malah lagi ngedongeng di depan.”

“Udah sih, Yo. Anggap aja lo lagi jadi gue dan David yang setiap hari harus tahan batin ngedengar ocehan lo tiap harinya. Lo baru dengar omongan Pak Husein gini aja udah ngeluh. Gimana nasib gue ama David coba?” ucap Rian sedikit berbisik karena tidak ingin di dengar oleh guru piket yang sedang berdiri di belakang barisan mereka.

Rio mengernyitkan alisnya mendengar ucapan Rian.

“Emang gue tiap harinya ngoceh mulu ya? Perasaan gue kalem-kalem aja tuh orangnya.”

“Kalem gundulmu,” balas Rian dengan pelan.

10 menit berlalu dan Pak Husein belum juga ada tanda-tanda akan memberhentikan amanatnya.

“Oh Pak Husein apa salah dan dosaku Pak sampai engkau menyiksaku secara perlahan seperti ini?” ucap Rio asal. Rian dan David yang mendengar ocehan Rio hanya diam dan tidak menanggapi. Mereka sudah terbiasa dengan kelakuan Rio yang kadang tidak jelas.

“Pak pokoknya Bapak harus bertanggung jawab!” Rian dan David mengerutkan kening mereka. Kenapa Rio malah tambah ngaur begini.

“Kalau sampai saya kelelahan karena ulah Bapak yang sedari tadi mendongeng di depan dan kemudian jatuh pingsan-“

Ucapan Rio terhenti karena Aliya yang berada di barisan samping Rio tiba-tiba terjatuh tak sadarkan diri.

Sontak akibat kejadian itu barisan kelas XI MIA 2 menjadi ricuh. David yang melihat kejadian itu dengan gesit langsung mengangkat tubuh Aliya menuju UKS.

Anggota PMR yang berjaga di setiap barisan perkelas berniat menggantikan David untuk mengangkat tubuh Aliya hanya saja David dengan tegas mengatakan bahwa dia yang akan membawanya.

Setelah di ruang UKS, David membaringkan dengan pelan tubuh Aliya di atas brankar yang ada.

Anggota PMR siswi yang bertugas menjaga UKS langsung menangani Aliya yang tidak sadarkan diri selepas dari keterkejutan mereka akibat David yang membuka pintu dengan cara menendangnya.

David memperhatikan dengan lekat wajah Aliya yang pucat tersebut. Setelah anggota PMR tadi menangani Aliya, David menyuruh mereka untuk keluar dan mengatakan bahwa dia yang akan menjaga Aliya.

Walaupun wajah Aliya pucat namun keringat tak hentinya keluar dari wajahnya. David mengelap keringat yang ada di wajah Aliya menggunakan sapu tangan yang selalu di bawanya di saku celana sekolahnya.

Karena merasakan sapuan di wajahnya Aliya dengan perlahan membuka kedua matanya. Hal pertama yang dirasakan Aliya ketika membuka mata yaitu pening dan buram.

Aliya berusaha menajamkan penglihatannya dan melihat David yang berada di sampingnya.

Mungkinkah David sedari tadi menunggunya sadar? Batin Aliya.
“Da-vid?” ucap Aliya serak.

David berdiri dan mengambilkan air minum untuk Aliya kemudia kembali duduk di samping Aliya.

“Minum dulu,” David membantu Aliya untuk minum melalui pipet.

“Apa yang terjadi?” tanya Aliya.

“Lo pingsan tadi pas upacara.”

“Upacaranya sudah selesai?”

“Belum, paling bentar lagi.”

Setelah percakapan itu suasana UKS menjadi hening. Baik Aliya maupun David tidak ada yang berniat memulai percakapan.

“Eh?” Aliya terkaget karena tiba-tiba David menyentuh pelipisnya menggunakan sapu tangan.

“Lo dari tadi keringatan,” David masih mengelap pelipis dan kening Aliya yang masih mengeluarkan keringat.

“Lo kenapa keringatan terus? Emang sih cuacanya lagi panas tapikan di UKS ini ada kipas anginnya. Lo masih rasa gerah ya? Mau gue naikin tekanannya?”

“Ah? Nggak usah,” jawab Aliya dengan gugup.

Pintu UKS di buka dan masuklah Vallen ke dalam.

“Aliya giman keadaan lo? Masih pusing? Lo sih tadi gue udah bilangin jangan ikut upacara ngeyel aja. Wajah lo itu dari tadi pucat masih aja di paksain,” Vallen berdiri di sisi brankar Aliya yang menghadap dengan posisi David duduk.

David berdiri dari duduknya. “Yaudah gue balik. Lagian lo udah ada yang jagain.”

“Makasih ya,” ucap Aliya.

David mengangguk dan mulai berjalan namun baru beberapa langkah David berhenti sebab Aliya memanggilnya.

David mengangkat salah satu alisnya. “Kenapa?”

“Sapu tangan kamu,” Aliya mengulurkan sapu tangan yang di gunakan David untuk mengelap keringatnya tadi.

“Lo pakai aja dulu untuk lap keringat lo.”
Setelah mengucapkan itu David kemudian keluar dari ruang UKS.

*****

Aliya membuka tas sekolah yang dia letakan di meja belajarnya untuk mengambil sapu tangan David yang sengaja di bawa pulangnya untuk di cuci terlebih dahulu sebelum di kembalikan kepada David besok.

Sebenarnya di sekolah tadi David sempat mengatakan bahwa Aliya tidak harus mencucinya namun Aliya enggan mengembalikannya dalam keadaan kotor akibat keringatnya seperti itu.

Dan sebagai ucapan terima kasih karena telah membawa Aliya ke ruang UKS dan menemaninya di sana sampai dia sadar, Aliya mengatakan untuk membiarkan dia saja yang mencuci sapu tangan David.

David yang awalnya tidak mau terpaksa mengalah karena paksaan Aliya.
Aliya sudah selesai mencuci sapu tangan David dan berjalan ke taman belakang untuk menjemurnya.

Mata Aliya terhenti ketika menemukan tulisan ‘David & Ara’ yang berada di sisi kanan sapu tangan tersebut.

Sapu tangan ini mengingatkan Aliya akan kado yang di berikannya dulu untuk David-teman masa kecilnya saat David ulang tahun.

Aliya masih ingat tulisan ‘David & Ara’ yang ada di sisi kanan sapu tangan berwarna biru itu di jahit oleh mama Diana atas permintaan Aliya dan khusus di berikan untuk David-teman masa kecilnya.

‘Kenapa sapu tangan ini sama persis dengan hadiah pemberian ku untuk David waktu itu? Tidak mungkin ada yang menjualnya secara kebetulan. Apa jangan-jangan memang David adalah teman masa kecilku dulu? Tapi kenapa dia tidak mengatakannya?’

Smile in the painTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang