Kau tidak tahu betapa sulitnya aku menyembunyikan ekspresiku. Mencoba seakan semuanya baik-baik saja di saat batinku tertekan.
Kau hanya bisa melihat senyumku tapi tak banyak yang bisa melihat lukaku. Kau hanya bisa melihat kebahagianku tanpa bisa menembus kesedihanku.
Sempat terbesit untuk menyerah dan menunjukkan semua emosi yang terpendam tapi aku masih memikirkan perasaan mu tanpa pernah berharap kau memikirkan balik perasaanku.
----
"Permisi. Yang namanya Aliya yang mana?"
Aliya dan Vallen yang sedang duduk di bangku teras kelas melihat kearah seorang siswa berkaca mata tebal yang berdiri di hadapan mereka.
"Aku yang namanya Aliya. Ada apa ya?" Aliya menunggu siswa berkaca mata tersebut kembali berbicara.
"Anu... itu. Tadi di panggil Pak Basuki ke lab kimia."
Aliya menyetujui perkataan siswa tadi tanpa banyak bertanya dan berdiri dari duduknya.
"Aliya, gue temenin ya," ucap Vallen seraya menyusul Aliya berdiri.
"Bole-" belum sempat Aliya menyelesaikan ucapannya namun di dahului oleh siswa tersebut.
"Ta-tapi kata Pak Basuki kamu sendiri saja. Ka-kata Beliau mau bahas tentang hasil ulangan kemarin."
Vallen menatap lamat kearah siswa tersebut sedangkan yang di tatap hanya menundukkan kepalanya.
"Kenapa harus sendiri? Letak lab kimia itu ada di ujung koridor, emang masalah kalau gue cuma mau nemenin?!"
Siswa berkaca mata tersebut terlihat gugup. "Ta-tapi i-itu.... "
"Udah lah Vallen, aku nggak apa-apa pergi sendiri," Aliya meyakinkan Vallen yang sedari tadi menatap penuh tanda tanya ke arah siswa tadi.
"Ya, sudah aku pergi dulu."
Aliya berjalan di dahului siswa berkaca mata tadi. Namun di tengah perjalanan siswa tersebut mengatakan harus ke toilet dan meminta maaf kepada Aliya karena tidak bisa menemani sampai lab kimia.
Karena letak lab kimia yang berada di ujung koridor tidak banyak siswa ataupun siswi yang berlalu lalang.
Aliya mengetuk pintu lab yang tertutup tapi karena tidak mendapat jawaban akhirnya Aliya masuk ke dalam yang kebetulan pintu tidak terkunci.
"Permisi. Pak Basuki?"
Aliya berjalan semakin dalam tapi masih belum ada sahutan dari Pak Basuki atau siapapun.
Aliya mengerutkan dahinya, sepertinya di lab kimia ini kosong, tapi bukannya siswa tadi mengatakan Aliya di suruh ke lab kimia oleh Pak Basuki.
Setelah beberapa kali memanggil namun tidak ada sahutan akhirnya Aliya memilih untuk keluar dan mencari di ruang guru saja.
Aliya membalikkan badannya dan kembali di buat bingung seingatnya sewaktu masuk tadi dia tidak menutup kembali pintu lab.
Memilih mengabaikan rasa bingungnya Aliya meraih pegangan pintu namun saat Aliya ingin membukanya pintu tersebut tidak bisa terbuka.
Aliya panik dan memukul-mukul badan pintu berharap ada seseorang di luar sana yang bisa mendengar suaranya. Aliya baru sadar kalau pintu lab kimia ini memang rusak dan tidak bisa di buka dari dalam.
"Tolong. Siapapun tolong buka pintunya," Aliya berteriak dan memukul badan pintu dengan keras.
Sekitar 3 menit berteriak Aliya merasa sulit bernafas. Dia berjalan tertatih menuju jendela untuk membukanya agar udara masuk namun jendela tersebut terkunci.
Aliya semakin sulit bernafas saat tiba-tiba gas karbondioksida masuk ke dalam lab entah dari arah mana.
Aliya kembali berjalan ke arah pintu dan kembali berusaha agar ada seseorang yang membukakan pintu.
"To-tolong. Bu-buka," pukulan Aliya tidak sekuat sebelumnya. Oksigen yang berada di ruangan ini semakin menipis dan dadanya terasa panas.
"To-tolong, a-aku mo-hon."
*****
Vallen yang sedari tadi berada di dalam kelas duduk dengan tidak tenang sedari tadi pikirannya di penuhi dengan Aliya. Sudah sekitar 40 menit Aliya pergi namun tidak juga kembali.
Karena rasa khawatirnya semakin menjadi, Vallen berdiri dari bangkunya dan keluar kelas. Vallen berlari menuju lab kimia namun di tengah jalan Zio memanggil nama Vallen.
"Lo lihat Aliya?" tanya Zio.
"Aliya tadi di panggil sama Pak Basuki ke lab kimia tapi dari tadi belum balik juga. Gue khawatir."
Zio mengerutkan dahinya bingung. "Pak Basuki? Dari tadi Pak Basuki ada di kelas gue lagi ngajar soal olimpiade."
"Loh terus yang panggil Aliya ke lab kimia siapa?" tanya Vallen dengan panik.
Zio membelakkan matanya. "Kita ke lab kimia sekarang."
Zio dan Vallen berlari sepanjang koridor menuju lab kimia. Karena letak lab yang berada di ujung jadi memerlukan beberapa waktu untuk sampai disana.
Saat tiba Zio langsung membuka pintu lab dan terbelak melihat Aliya yang tidak sadarkan diri di lantai. Zio dan Vallen masuk ke dalam ruangan menuju Aliya.
"Aliya. Aliya bangun," ucapan Zio sedikit terhambat karena gas karbondioksida yang memenuhi ruangan tersebut.
Zio mengangkat tubuh Aliya membawanya keluar dari lab disusul dengan Vallen.
"Aliya bangun," Vallen menepuk pipi Aliya kecil.
Zio meraih pergelangan tangan Aliya dan merasakan nadinya berdetak dengan sangat lambat. Zio panik dan mengeluarkan ponsel dari saku celana seragamnya. Pikirannya kali ini hanya tertuju oleh ayahnya.
Zio menelpon ayahnya dan dering ke lima baru telepon tersebut terjawab.
"Ayah. Zio mohon minta ambulance ke sekolah Zio sekarang."
Di seberang sana ayah Zio terlihat bingung dengan ucapan anaknya. "Ada apa?"
"Aliya, Ayah. Zio mohon."
Zio menutup teleponnya ketika mendapat persetujuan ayahnya.
"Kenapa harus ada ambulance kenapa tidak di UKS saja?" tanya Vallen dengan panik. "Ambulance harus butuh waktu baru bisa tiba."
"Aliya harus di bawa ke rumah sakit."
Tanpa memikirkan tatapan bingung Vallen, Zio langsung mengangkat tubuh Aliya dan berlari menuju depan sekolah. Vallen walaupun bingung tetap setia mengikuti arah Zio membawa tubuh Aliya yang tidak sadarkan diri.
Semua orang yang berada di koridor terpekik kaget ketika melihat Zio yang berlari sambil menggendong tubuh Aliya. Bukan sampai situ saja, mereka kembali di kejutkan ketika sirine ambulance terdengar dari depan sekolah.
Dengan tergesa-gesa Zio membaringkan tubuh Aliya di atas brankar yang di keluarkan oleh perawat pria dan ikut masuk ke dalam ambulance bersama Vallen.
David, Rio dan Rian yang sedang berada di dalam kelas melihat dari jendela ambulance yang memasuki area sekolah tapi tidak melihat siapa yang di bawa oleh ambulance tersebut.
"Kenapa ada ambulance? Memang siapa yang sakit?" tanya Rio bingung dan terus memperhatikan ambulance yang sudah menghilang dari lingkungan sekolah.
Entah kenapa melihat ambulance tersebut perasaan David risau. Seperti ada sesuatu yang tidak beres sedang terjadi dan entah kenapa juga dari tadi dia terus memikirkan Aliya karena sedari tadi dia tidak melihatnya.
'Ah. Apaan sih. Nggak mungkin ambulance itu ada hubungannya sama Aliya,' David menggelengkan kepanya dan berusaha menghilangkan pikiran negatif yang sempat hinggap di kepanya tentang Aliya. Dia berusaha berpikir positif bahwa semuanya baik-baik saja.
![](https://img.wattpad.com/cover/138835885-288-k92506.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Smile in the pain
Teen FictionAku tersenyum untuk menyembunyikan sakit ku. Aku tertawa untuk meredam jeritan ku. Aliya. Kita sama-sama menyembunyikan banyak hal. Banyak hal yang menyatukan kita tapi kita terlalu bodoh untuk menyadarinya. David. Permainan takdir memang lu...