Sehabis mengantar Aliya kerumahnya, David kembali menuju rumahnya sendiri. Langit semakin menggelap maka dari itu dia menambah kecepatan laju motornya.
David sampai di rumah bertepatan dengan turunnya hujan di luar.
David membuka pintu rumahnya dan di sambut oleh Ayahnya yang sedang duduk di sofa ruang tamu sambil membaca laporan di tangannya.
"Kenapa kamu terlambat pulang?" Ayah David meletakkan laporan yang di bacanya dan dengan gerakan mata menyuruh David untuk duduk di hadapannya.
Sesuai perintah ayahnya, David melangkahkan kakinya menuju tempat yang ayahnya maksud.
"Habis anterin teman pulang dulu, yah."
"Kamu nggak bohong?"
David menggelengkan kepalanya, terkadang dia merasa sedikit risih dengan sikap ayahnya yang over protektif. Oh ayolah, dia ini cowok bukan anak gadis yang harus selalu di lindungi, lagian David juga sudah bisa menjaga dirinya sendiri.
"Kamu masih sering buat ulah di sekolah?" Tanya ayah David memastikan.
"Emm.... Nggak juga sih, yah." Jawab David jujur. Kalau mau bilang 'tidak' dia terkadang masih sempat bolos mata pelajaran. Mau bilang 'iya' menurutnya tidak juga, buktinya David sudah tidak pernah terlambat dan manjat pagar belakang.
Ayah David menghela napas melihat kelakuan putra semata wayangnya ini. "Besok ayah dan mama kamu mau ke sekolah untuk sekedar kunjungan jadi ayah harap kamu jangan membuat keributan di sekolah."
"Ck. Bukan David yang buat keributan, murid perempuan saja yang suka berteriak kalau lihat David. Jadi bukan salah David kan?"
Ayah David menaikkan sebelah alisnya mendengar penuturan anaknya. Sifatnya semasa muda ternyata turun secara sempurna kepada David. Dan dia sempat menyesali akan hal itu.
"Ya sudah kamu masuk ke kamar bersihkan diri kamu."
"Hm."
David bangkit dari duduknya dan berjalan ke lantai dua rumahnya untuk menuju ke kamarnya.
Setelah membersihkan diri David berjalan menuju tempat tidur dan membaringkan badannya yang terasa lelah.
David menatap plafon kamarnya dan kembali menerawang tentang yang terjadi seharian ini. Tentang dirinya yang memilih untuk berubah menjadi lebih hangat dan tentang dirinya yang berusaha melindungi Aliya tanpa sepengetahuan gadis itu.
"Gue harap tindakan gue udah tepat," David menghela napas dan memejamkan matanya sejenak.
"Maaf gue lari dari janji gue dulu. Kali ini gue akan berusaha untuk nepatin janji itu. Berada di dekat lo dan akan selamanya di samping lo. Gue akuin gue pengecut yang nggak berani terus terang sama lo. Gue takut lo bakal benci setelah lo tau semuanya tentang gue. Gue udah mulai terbiasa dan nyaman dengan kehadiran lo lagi di hidup gue. Biarlah gue ngejaga lo dengan cara gue sendiri." Entah David berbicara kepada siapa karena di dalam kamar hanya ada dia seorang. David hanya ingin mengeluarkan isi hatinya saja.
David melirik foto sepasang anak kecil yang dia pajang di nakas samping tempat tidurnya.
Dengan perlahan dia mengambil bingkai foto tersebut dan melihat anak perempuan yang tersenyum lebar di samping anak laki-laki yang tersenyum kecil sambil berpelukan.
Tak dirasa sudut bibir David terangkat sedikit melihat foto tersebut. Foto yang di pegangnya adalah foto yang di ambil sebulan sebelum David menghilang.
Saat itu mereka sedang bermain bersama seperti biasa di taman dan kebetulan di taman tersebut sedang di adakan festival kecil-kecilan.
Aliya dan David datang bersama mama keduanya, setelah sampai Aliya langsung menarik tangan David ke stand yang menjual es krim coklat.
Seperti kebiasaan Aliya pada dasarnya dia langsung memesan satu cup es krim dan menyuruh David untuk membayar es krim yang Aliya makan.
Ya, Aliya semasa kecil memang seperti itu selalu membeli es krim sesuka hatinya dan urusan membayar di serahkan kepada David seutuhnya. Semenjak mengetahui hal itu, David selalu membawa uang paling banyak 20.000 untuk berjaga-jaga jika saja Aliya ingin membeli sesuatu.
Setelah mendapatkan apa yang Aliya mau mereka kembali ke tempat orang tua mereka berada. Sepanjang hari mereka bermain bersama entah itu kejar-kejaran atau main petak umpet.
Ketika hendak pulang ke rumah masing-masing, mama David menyuruh Aliya dan David untuk berfoto dan dengan semangat Aliya menyetujuinya.
Tanpa aba-aba Aliya menarik tangan David sehingga David sempat tersungkur di tanah karena belum siap menerima tarikan Aliya.
"Aww.." David meringis karena telapak tangannya memerah dan sedikit perih karena menjadi tumpuan tubuhnya saat terjatuh tadi.
"Kak David maafin Ara, Ara nggak sengaja.. Hiks."
David bangun dari posisi jatuhnya dan menepuk punggung Aliya agar berhenti menangis.
"Udah, David nggak apa-apa. David kan anak kuat."
"Tapi tadi kak David jatuh gara-gara Ara."
"Sudah jangan nangis. Nanti David beliin Ara es krim coklat lagi ya?"
Mendengar ucapan David, Aliya menghapus air matanya dan mengangguk. Aliya mengambil kedua tangan David dan melihat telapak tangan David yang memerah.
"Ini masih sakit kak?" Tanya Aliya sambil meniup kedua telapak tangan David.
"Enggak," David menggelengkan kepalanya. "Sakitnya sudah pergi."
Aliya tersenyum dan memeluk David. Melihat kejadian itu mama Aliya dan mama David tersenyum senang. Untuk mengabadikan moment itu mama David memfoto keduanya yang sedang asik berpelukan.
David mengelus foto anak kecil tersebut. Dia ingin membayar semua yang dia telah lakukan di masa lalu, meninggalkan Aliya dan tentang sesuatu yang David belum sanggup untuk membaginya kepada siapapun kecuali keluarganya.
Tentang sesuatu yang sudah lama dia kubur dalam-dalam dan tidak ada satupun yang mengetahui itu. Sesuatu yang sudah lama lenyap tapi masih menjadi ketakutannya sampai sekarang.
"I'll save you." David meletakkan kembali bingkai foto tersebut dan mulai tenggelam dalam dunia mimpinya.
*****
Aliya bangun dari pingsannya dan duduk mengadap jendela kamarnya yang sedang di basahi rintikan air hujan.
Dia berusaha melupakan kejadian tadi yang membuatnya syok, Aliya sadar bahwa dia tidak boleh tertekan sebab akan mempengaruhi kondisi kesehatannya dan akan memperburuk semuanya.
Aliya melipat lututnya dan membaringkan kepalanya di atas sana sambil masih tetap melihat air hujan melalui kaca jendela kamarnya.
"Aku akan bertahan sampai aku sudah tak sanggup lagi menahan ini semua. Jika aku tidak bisa membuat mereka bahagia setidaknya aku tidak menjadi beban untuk mereka. Aku akan melakukan sebisa ku dan melewati ini sampai akhir."
Aliya memejamkan matanya dan dengan perlahan air matanya mengalir dari kedua sudut matanya yang tertutup.
-----------
Assalamualaikum...
Hehehe, maaf part ini lumayan pendek ya, tapi semoga cerita abal-abalan ini masih bisa menghibur.See you..
KAMU SEDANG MEMBACA
Smile in the pain
Teen FictionAku tersenyum untuk menyembunyikan sakit ku. Aku tertawa untuk meredam jeritan ku. Aliya. Kita sama-sama menyembunyikan banyak hal. Banyak hal yang menyatukan kita tapi kita terlalu bodoh untuk menyadarinya. David. Permainan takdir memang lu...