Setibanya di rumah sakit, Aliya langsung di larikan ke UGD untuk mendapat pemeriksaan. Zio dan Vallen yang mengantar Aliya hanya bisa menunggu di depan pintu UGD saja.
Zio yang bajunya sudah di penuhi dengan keringat berjalan mondar-mandir di ruang tunggu sedangkan Vallen duduk di bangku yang ada.
"Kak, sebenarnya Aliya kenapa sih?" tanya Vallen dengan geram. Pasalnya sepanjang perjalanan menuju rumah sakit Zio tidak menjawab satupun pertanyaan Vallen.
"Nggak kenapa-napa."
Vallen yang kesal berdiri dari duduknya dan berdiri persis di depan Zio sehingga Zio berhenti mondar-mandir.
"Kak, gue nggak buta, ya. Kalau Aliya nggak kenapa-napa kenapa pake bawa ke rumah sakit segala? Di sekolah juga ada Dokter yang bertugas di UKS."
"Aliya cuma sakit biasa."
Vallen menundukkan kepalanya karena merasa Aliya dan Zio menyembunyikan sesuatu darinya. "Kak, aku mohon. Jangan buat aku jadi sahabat yang nggak berguna untuk Aliya. Sahabat aku sedang ada di dalam sana dan di sini aku bahkan nggak tahu apa-apa tentang sahabat aku. Aku ini sahabat macam apa?" ucap Vallen dengan parau.
Zio menatap sebentar Vallen yang masih menunduk dan kemudian memalingkan pandangannya kearah pintu UGD yang tertutup.
'Bagaimana ini? Gue udah janji untuk rahasiakan tentang penyakit Aliya ke siapapun. Tapi sebagai sahabat Vallen berhak tahu. Gue nggak bisa selalu ada setiap saat untuk pantau kondisi Aliya,' batin Zio.
Pikiran dan batin Zio berperang satu sama lain. Dia bingung apa yang harus dia lakukan satu sisi dia tidak tega melihat Vallen yang dari tadi memohon kepadanya dan satu sisi Zio memikirkan kembali janjinya kepada Aliya.
"Aliya sakit," ucap Zio setelah sekian lama diam.
Vallen yang yang mendengar ucapan Zio langsung mengangkat kepalanya. "Sakit? Aliya sakit? Maksud Kak Zio, Aliya sakit apa?"
Zio kembali diam dan menghela napas.
"Gue nggak punya hak untuk jawab pertanyaan lo. Tapi satu hal yang pasti, Aliya sakit dan gue mohon supaya lo bisa bantu gue untuk jaga Aliya," Zio mengarahkan pandangannya ke arah pintu UGD yang masih tertutup.
"Dan satu lagi. Lo harus bersikap seakan lo nggak tahu apa-apa. Meskipun sebenarnya lo belum tahu apapun tapi anggap semuanya baik-baik saja. Gue nggak mau Aliya kepikiran," sambung Zio.
Vallen mengerutkan kening, otaknya seakan lambat berkerja. Terlalu banyak teka-teki yang Zio gunakan dalam kalimatnya.
"Tapi aku-"
Sebelum Vallen menyelesaikan ucapannya, Zio langsung memotong perkataan Vallen. "Lo hanya perlu bantu gue jaga Aliya. Cepat atau lambat lo bakal tahu juga entah itu dengan sendirinya atau dari Aliya langsung."
Beberapa saat kemudian pintu UGD terbuka dan keluarlah ayah Zio dari ruanga tersebut.
"Ayah, bagaimana kondisi Aliya?"
Ayah Zio menutup pintu UGD dan berjalan mendekati Zio dan Vallen.
"Dia baik-baik saja. Kalian sudah bisa menjenguknya, sebentar lagi Aliya akan sadarkan diri," ucap Dokter Rey.
Vallen dan Zio menghela napas lega dan bersyukur dalam hati.
"Zio, kamu ikut ke ruangan Ayah. Ayah pengen bahas sesuatu."
Tanpa banyak bertanya Zio mengikuti langkah ayahnya menuju ruangan yang di maksud. Sedangkan Vallen masuk ke dalam UGD untuk menemui Aliya.
Zio dan Dokter Rey tiba di depan ruangan khusus penyakit dalam dan kemudian keduanya masuk ke dalam.
"Apa yang sebenarnya terjadi kepada Aliya di sekolah tadi?" tanya Dokter Rey.
"Zio nggak tahu pasti, Yah. Yang jelas Aliya terjebak di lab kimia dan gak tahu kenapa bisa ada gas karbondioksida di ruangan itu. Terlebih lagi semua jendela terkunci dan pintu hanya bisa di buka dari luar."
"Gas karbondioksida yang di hirup Aliya sangat banyak dan terlebih lagi dengan kondisi Aliya yang seperti ini, itu sangat berpengaruh negatif untuk tubuh Aliya."
"Maksud Ayah?" tanya Zio dengan bingung.
"Pengidap gagal ginjal stadium 3 sudah susah untuk bernapas apabila kelelahan dan sering mengalami sesak napas dengan tiba-tiba. Gas karbondioksida yang di hirup Aliya menyebabkan oksigen dalam tubuh Aliya sangat sedikit sehingga Aliya pingsan. Untung saja kamu tidak terlambat membawa Aliya karena jika terlambat nyawa Aliya bisa saja dalam bahaya."
Zio mengusap wajahnya dengan kasar.
"Apa yang harus Zio lakukan sekarang, Yah?" tanya Zio dengan suara serak.
"Jaga Aliya baik-baik."
Zio menatap ayahnya dengan lamat.
"Menurut Ayah ini semua bukan ketidak sengajaan. Tabung gas karbondioksida tidak akan mudah terbuka atau bocor. Mungkin saja ada yang berniat mencelakai Aliya sejak awal.
Zio terdiam dengan fikiran yang kemana-mana. Pikirannya serasa terbelah dua antara kondisi Aliya dan siapa yang sengaja mencelakai Aliya.
"Jaga dia seperti kamu menjaga diri kamu sendiri. Ayah tahu kamu menganggap Aliya lebih dari sekedar teman."
Zio memalingkan wajahnya ke samping menghindari tatapan ayahnya.
"Zio nggak ngerti Ayah ngomong apa."
"Kamu tidak bisa bohongi Ayah, nak. Kalau memang kamu punya perasaan lebih kepada Aliya jaga dia baik-baik. Ayah sadar bahwa gadis itu banyak merubah kamu. Kamu tidak pernah menghawatirkan orang lain selain keluarga kamu terlebih itu jika hanya sekedar teman. Kamu selalu bisa mengontrol ekspresi kamu dengan baik tapi jika menyangkut Aliya, kamu seperti buku yang terbuka, setiap orang mampu membacanya."
Zio kembali memikirkan ucapan ayahnya. Apakah memang dia tidak bisa menutupi perasaanya kepada Aliya sampai ayahnya bisa mengetahui itu.
Zio jujur bahwa dari awal mengenal Aliya, dia sudah tertarik dengan gadis itu. Tutur katanya, senyuman, dan kecerian Aliya membuat Zio selalu memikirkan Aliya.
Jika saja Zio boleh egois dia sudah lama ingin menjadikan Aliya miliknya namun Zio tidak bisa melakukan itu. Zio tahu bahwa di hati Aliya sudah tersimpan nama seseorang dan orang itu bukanlah dirinya.
Zio tahu karena cara pandang Aliya terhadap orang tersebut sangatlah berbeda dengan saat dia memandang orang lain. Mata Aliya seakan mengatakan itu semua.
Zio menghela napas dan berdiri dari duduknya. "Yah, Zio pamit. Zio mau lihat Aliya sudah sadar atau belum."
Ayah Zio mengangguk, kemudian Zio keluar dari ruangan ayahnya. Sepanjang perjalanan menuju UGD, Zio kembali memikirkan tentang perkataan ayahnya tadi. Ayahnya benar dia harus menjaga Aliya seperti dia menjaga dirinya sendiri.
Walaupun Aliya tidak pernah menyadari tentang perasaan Zio terhadapnya dan hanya menganggap sebatas sahabat atau seorang kakak tapi Zio tetap menyayangi Aliya atau mungkin mencintainya.
Selamanya akan terus begitu. Walaupun dia tahu mencintai seseorang dalam diam itu sangatlah berat. Dia berada persis di dekatmu namun hatinya serasa jauh dan tak sanggup untuk di jangkau.
Biarlah perasaan Zio berperan seperti bayangan semu yang ada namun tak harus di sadari keberadaannya.
Bersambung....
🌷🌷🌷
Assalamualaikum semua.......
Yehhh saya muncul lagi setelah sekian lama menghilang😅.
Terima kasih yang sudah baca yah, semoga suka.See you.. 💕
![](https://img.wattpad.com/cover/138835885-288-k92506.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Smile in the pain
Teen FictionAku tersenyum untuk menyembunyikan sakit ku. Aku tertawa untuk meredam jeritan ku. Aliya. Kita sama-sama menyembunyikan banyak hal. Banyak hal yang menyatukan kita tapi kita terlalu bodoh untuk menyadarinya. David. Permainan takdir memang lu...