David memarkirkan motor kesayangannya di garasi dan masuk ke dalam rumah setelah pulang dari sekolah.
Sebenarnya Rio dan Rian sempat mengajak David untuk nongkrong bentar di warung sepulang sekolah hanya saja David malas dan ingin segera bertemu dengan bantal dan guling kesayangannya.
"Assalamualaikum." David membuka pintu rumahnya dan masuk ke dalam.
Di ruang keluarga David melihat mama dan ayahnya yang sedang duduk berduaan seperti pasangan muda yang sedang pacaran saja.
'Ck, nggak ingat umur,' batin David.
"Wa'alaikum salam." Kedua orang tua David menjawab salamnya secara bersamaan setelah David tiba di ruang keluarga.
Baru saja David hendak menaiki tangga untuk menuju kamar panggilan dari mamanya membuatnya langkahnya terhenti dan berbalik kepada mamanya yang sedang duduk di sofa.
"David, kamu kesini sebentar. Mama pengen ngomong sesuatu."
David berjalan menuju kedua orang tuanya dan duduk di sofa yang berada di hadapan mereka.
"Ada apa, Ma?"
"Kamu masih ingat dengan Aliya?"
David mengerutkan keningnya. Maksud mamanya Aliya yang mana dulu. Kan banyak nama Aliya. Ya walaupun David hanya mengenal satu Aliya di hidupnya.
"Maksud Mama, Aliya yang mana?"
"Aliya teman kecil kamu yang waktu kita masih tinggal di Bandung."
David sedikit terdiam. Ada apa hingga tiba-tiba mamanya bertanya tentang Aliya.
"Iya David masih ingat."
"Kamu tau kalau dia sekarang ada di Jakarta?"
David menaikkan sebelah alisnya dan menatap mamanya dengan bingung. Sejak kapan mamanya tau Aliya ada di Jakarta.
Melihat respon anaknya yang hanya diam mama David menghela napas.
"Aduh David, Aliya itu satu sekolah loh sama kamu. Masa kamu nggak tau sih?" Mama David pasrah menghadapi respon anaknya ini.
"Tau kok, malah teman duduk." Gumam David pelan tetapi masih bisa di dengar oleh kedua orang tuanya.
"Jadi Aliya teman duduk kamu? Dan kamu nggak kasih tau mama tentang ini?"
David sedikit meringis mendengar suara mamanya yang sedikit melengking itu. Bahkan ayahnya sedikit menjauhkan kepala karena suara mamanya.
"Maaf," ucap David.
"Kamu ajak main Aliya ke rumah dong sekali-kali. Mama pengen bicara banyak sama dia."
"Udah pernah kesini kali." David memutar kedua bola matanya.
"Udah pernah? Kapan?" Kini giliran ayah David yang bertanya.
"Udah lumayan lama. Ayah sama mama waktu itu lagi pergi untuk peresmian restoran baru yang ada di Semarang."
Ayah David menganggukan kepalanya setelah itu kembali diam dan hanya memperhatikan televisi, mengabaikan kedua manusia yang ada di sekitarnya itu. Sudah jelaskan dari mana sifat cuek David?
"David, tadi kan mama sama ayah ketemu Aliya di sekolah-"
"Mama ketemu sama Aliya di sekolah?" tanya David memotong ucapan mamanya.
Mama David berdecak. "Kamu ini dengar dulu mama belum selesai bicara. Iya tadi mama sama ayah ketemu Aliya di sekolah. Tapi ya waktu Aliya liat kami, dia sempat terkejut begitu kayak baru lihat orang yang udah lama nggak ketemu."
David sedikit tertegun mendengar ucapan mamanya. "Yaa.. Kan emang udah lama nggak ketemu," David menelan salivanya karena gugup.
Mama David yang sudah hapal dengan kebiasaan anaknya itu menatap David dengan intens. David yang di tatap seperti itu oleh mamanya hanya mengalihkan pandangannya terserahlah kemanapun asalkan jangan ke arah mamanya.
"Ada yang kamu sembunyiin?" tanya mama David.
"A-ah? Gak," jawab David singkat.
"Jawab yang jujur David atau semua novel kamu mama bakar."
Skak mat. David kicep. Mamanya kalau mengancam nggak pernah asal ngancam aja. Pernah sekali David menghiraukan ancaman mamanya dan besoknya semua pakaian kotor yang ada di rumah harus David cuci dan harus di kucek nggak boleh pakai mesin cuci.
Masih mending mungkin kalau cuma pakaian kotor tapi kalau di tambah 2 seprai, 2 bad cover, dan gorden di setiap ruangan kan lumayan. Lumayan kebangetan.
"Masih nggak mau jujur?" desak mama David.
David menghela napasnya pasrah."Aliya belum tau kalau aku adalah David teman masa kecilnya dan Davidpun belum pernah berniat kasih tau."
"Tapi kenapa? Bukannya kalian sangat dekat? Mama tau kamu sangat sayang dengan dia. Kamu bahkan sempat demam selama seminggu setelah kepindahan kita dan terus nyebut nama Aliya di tidur kamu." Mama David menatap penuh tanda tanya ke arah anaknya ini.
"David takut." David menundukkan kepalanya, tidak sanggup menatap mamanya.
"Kamu takut apa?"
"Takut dia kembali," jawab David lirih. Ayah David yang sedari tadi menonton kembali memfokuskan ke arah David. Sedangkan mamanya hanya menatap diam anaknya denga mata yang berkaca-kaca.
"Dia sudah hilang David," ucap Ayah David.
"Tapi bagaimana kalau dia kembali, Yah?"
Kedua orang tuanya kompak diam tidak tau akan berucap apa ke arah David.
"David ke kamar." David beranjak dari duduknya ketika dia rasa sudah tidak ada pembicaraan lagi antara dia dan kedua orang tuanya.
Di dalam kamar David memilih berjalan ke arah balkon dengan masih memakai seragam sekolah lengkap, malas rasanya untuk menggantinya.
David menyandarkan tubuhnya ke pembatas balkon dengan menggunakan siku sebagai tumpuannya. Membiarkan angin sore menerpa tubuhnya, berharap dengan hembusan angin beban di hatinya bisa terbawa terbang menghilang dari dirinya.
'Dia sudah lama hilang. Tapi bagaimana jika dia kembali lagi? Kembali di saat dia belum siap? Di saat dia tidak menginginkan kehadirannya lagi? Di saat semuanya teras sulit. Sulit untuk di mengerti, di pahami dan di maafkan.' David menghela napas. Selalu ini yang menjadi ketakutannya. Ketakutan yang menghalangi semuanya. Ketakutan yang mengubah semua yang ada pada dirinya.
David kembali masuk ke dalam kamar untuk mengambil gitar lalu berjalan menuju balkon lagi dan duduk di kursi yang berada di sana.
David memetik senar gitarnya membiarkan gitar itu menghasilkan instrumen tanpa ada pelengkapnya. Itulah kebiasaan David, memainkan gitar tanpa mau mengeluarkan suaranya untuk bernyanyi melengkapi petikan gitar tersebut.
David merasa cukup dengan suara yang di hasilkan dari gitar yang di mainkannya dan angin yang menerpa tubuhnya.
Setidaknya dua hal sederhana tersebut cukup membantu David menenangkan pikirannya, menenangkan hati sekaligus jiwanya yang sedang risau.
David mendongakkan kepalanya menatap langit di atas sana yang nampak cerah walaupun sudah pukul setengah lima sore.
'Jangan lagi,' batin David.
Karena badannya yang gerah David memilih beranjak dari posisinya dan masuk ke dalam kamar mandi yang menjadi satu dengan kamar tidurnya untuk membersihkan tubuhnya setelah seharian beraktivitas di sekolah.
🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹
Assalamualaikum semua.....
Terima kasih yang sudah menyempatkan baca cerita ini, semoga ceritanya bisa menghibur.Oh iya saya mau ngucapin......
Selamat Hari Raya Idul Fitri, untuk semua yang merayakannya.Maaf kalau selama proses penulisan cerita ini saya tanpa sengaja berbuat kesalahan dan mungkin ada kata-kata yang kurang berkenan di hati teman-teman.
Minal aidzin walfaidzin. 💕💕
KAMU SEDANG MEMBACA
Smile in the pain
Teen FictionAku tersenyum untuk menyembunyikan sakit ku. Aku tertawa untuk meredam jeritan ku. Aliya. Kita sama-sama menyembunyikan banyak hal. Banyak hal yang menyatukan kita tapi kita terlalu bodoh untuk menyadarinya. David. Permainan takdir memang lu...