53➡ Haruskah Berakir?

1.5K 83 2
                                    

Suasana yang semula gaduh dengan adanya riuhnya penonton menjadi hening karena telah usainya pertandingan. Hingga tinggallah beberapa orang yang bisa di hitung jari. Dan salah satu dari orang tersebut adalah Killa, Ika, Heri dan Panji.

Dua orang paruh baya itu tersenyum sumringah karna bisa mempertemukan kedua anaknya. Namun, berbeda dengan hati kedua remaja itu. Panji dan Killa tengah menahan sesak di dadanya.

Senyum tipis penuh kesedihan selalu terpancar di bibir Killa, dan begitu pula dengan Panji. Ia tersenyum tipis namun hatinya tengah menangis.

"Panji, kenalin ini Killa. Dan ini Tante Ika." Ujar Heri memperkenalkan kedua wanita itu kepada Panji.

Namun, Panji sudah mengenal kedua wanita itu. Killa kekasihnya dan Ika calon mertuanya. Tetapi kenyataan itu pupus saat ini.

Panji mengulurkan tangannya pada Ika dan tersenyum tipis.

"Panji Tan." Ujar Panji. Ika menerima uluran tangan Panji dan mengusap puncak kepala Panji.

"Ganteng banget kamu." Ujar Ika. Panji hanya membalas dengan senyuman nanar.

Kemudian Panji mengarahkan pandangannya pada gadis yang sedari tadi menunduk lemah. Dan Panji juga mengulurkan tangannya pada gadis itu.

"P-panji." Ucap Panji dengan menahan sesak yang tertahan di dadanya.

Sementara itu, Killa yang semula menunduk, mencoba untuk mendongak menatap mata sendu Panji. Killa mengatupkan bibirnya yang mulai gemetar menahan isak tangisnya.

"K-killa." Ucap Killa dengan mengambil nafas panjang untuk menenangkan hatinya yang terasa amat sakit itu.

Panji terus menjabat tangan Killa, ia melihat ada luka di kedua mata gadis yang amat ia cintai itu. Ingin sekali Panji membawa gadis itu kedalam dekapannya sekarang, namun apa daya? Semua sudah berbeda sekarang.

"Kita makan yuk." Ucap Heri yang membuat Panji dan Killa refleks melepaskan jabat tangan mereka.

Kemudian Killa menggeleng cepat. Ia tak tahan menahan rasa sakit ini sekarang.

"Killa mau ke rumah temen Om. Mau ngerjain tugas." Dusta Killa yang sangat di ketahui Panji.

Panji amat hafal dengan Killa, begitu juga kalau Killa tengah berbohong.

"Kalau gitu kamu naik apa? Kita kan nggak bawa mobil." Tanya Ika sambil mengusap pipi Killa.

Killa tersenyum pedih. "Killa naik taksi aja Ma."

Killa melepaskan pelan tangan Ika dari pipinya. "Killa pergi dulu Om, Ma,-- Pan."

Killa tersenyum sekilas dan meninggalkan mereka bertiga yang masih berdiri mengamati kepergian Killa.

⚫⚫⚫

Angin malam menyelungsup dingin ke dalam baju Killa. Namun Killa tak merasakan itu. Ia hanya merasakan dinginnya air bening yang sedari tadi membasahi pipinya.

Killa kesal dengan dirinya sendiri. Seharusnya ia bahagia jika Mamanya bahagia, bukan malah seperti ini. Ia menangis dan merasakan sakit saat melihat tawa indah Mamanya.

"Mengapa kita dipertemukan dalam ikatan cinta? Kalau akhirnya kita berada dalam ikatan saudara?" Killa memukul tangannya ke tanah yang sedang ia duduki.

Dengan air mata yang terus mengalir dan sesak yang terus terasa. Killa mengambil sebuah batu kecil dan melempar asal ke arah danau di depannya.

Tubuhnya terasa menggigil saat angit malam kembali menerpa wajahnya dan tubuhnya. Namun Killa tak menghiraukan itu, karna sedingin-dinginnya udara malam ini. Masih lebih dingin lagi sikap takdir kepadanya.

PakillaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang