Mencoba menerima semuanya itu terlalu sulit bahkan banyak dari setiap orang membutuhkan waktu untuk beradaptasi atau bahkan menerima dengan hati yang ikhlas,namun ada juga sebagian orang yang jutru tidak sanggup menerima semuanya.
Walaupun terkadang hati sudah ingin menerima akan tetapi susah jika melakukannya.
Begitulah yang di rasakan oleh Reva, setelah di mana ia meninggalkan ibu tirinya dengan tangan gemetar ia langsung menatap kosong ke arah jendela kamar di mana ia bisa melihat taman rumahnya dari atas.
Nafasnya begitu memburu dengan mata nya yang mulai memanas, ucapan Ibu tirinya berhasil membuatnya bergetar di penuhi rasa emosi yang ia pendam kuat.
Mata nya menatap nyalang saat ia melihat tetes darah yang berserakan di lantai kamarnya, beginilah dia di saat ia merasa emosi dan takut ia jutru berbuat hal yang nekat, yaitu menyakiti dirinya sendiri.
Self Injury, entah kapan Reva mengidap penyakit ini yang di mana hanya dirinya saja yang tahu, ia selama ini sering mengurungkan dirinya karena ia takut orang luar mengetahui akan penyakit yang di derita ini.
Kenapa ia bisa tahu? Beberapa tahun yang lalu ia mencoba pergi sendiri ke dokter psikiater dan ia memang di nyatakan mempunyai penyakit itu,di saat itu seakan dirinya begitu frustasi, dokter menyarankan agar ia melakukan terapi atau pengobatan di rumah sakit namun Reva menolaknya mentah-mentah, ia tidak ingin orang tahu akan penyakitnya, Reva lebih memilih mengambil obat penenang yang beberapa tahun terakhir menemaninya.
Baginya,di saat ia sudah menyakiti anggota tubuhnya,tubuhnya merespon dengan cepat, ia menjadi lebih tenang dan juga merasa lega.
Sakit yang dia rasakan seperti tidak mempunyai arti apa-apa yang terpenting adalah dirinya merasa lebih baik.
Reva menghembuskan nafasnya dengan pelan, kali ini ia merasa bisa mengontrol emosinya di mana ia sudah mulai bersikap normal di bantu oleh obat yang sudah ia minum, luka di pergelangan tangannya cukup dalam bersamaan dengan rasa perih namun entah mengapa gadis itu tidak meringis kesakitan justru memandang datar kearah lukanya.
Reva menyimpan pisau kecil kedalam laci kamarnya,tangannya pun meronggoh kotak P3K yang ada di laci,dengan pelan ia mengobati lukanya sendiri.
Setelah ia selesai, Reva mengambil jaketnya lalu segera melangkah keluar kamar. Saat ia turun tangga ia bisa melihat Kanaya sedang duduk bersama Lidya yang tengah membicarakan sesuatu,wajah ibu tirinya terlihat sembab seperti abis menangis, sepertinya Ibu tirinya ini habis menangis atas pembicaraan terakhir mereka dan Reva memilih tidak peduli justru ia tidak simpati melihat ibu tirinya itu.
Menyadari seseorang tengah berjalan, Kanaya dan Lydia menoleh melihat ke arah Reva yang tampak tidak peduli dengan keadaan sekitar, gadis itu tetap berjalan menuju pintu rumah tanpa memalingkan wajah.
"Kamu mau kemana Valin?" suara dari belakang menghentikan langkah kakinya, Reva menghembuskan nafas saat melihat Kakak tirinya berjalan kearahnya.
"Keluar," jawabnya datar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Confession Of Love
Teen Fiction"Dia itu sebenarnya lemah tapi ia tidak pernah memperlihatkannya" ****** aku benci dia dan akan selamanya ia menjadi rivalku! dia yang selalu membuatku mendadak kesal dengan kehadirannya yang terbilang sangat sempurna yang membuatku semakin benci d...