BAB 42

102 4 0
                                    

Kali ini aku memberanikan diri untuk pergi ke sekolah pertama kalinya. Ayah seperti tidak menyetujui kalau diriku saat ini pergi ke sekolah, karena ia tahu kalau aku sudah habis ujian hanya menunggu pengumuman kelulusan, ia meminta ku untuk belajar lebih giat agar aku bisa masuk ke dalam fakultas kesenian jurusan musik di Jakarta.

"Kamu yakin Valin ke sekolah? Ayah sudah bicara dengan guru kamu kalau kamu saat ini fokus pada pendaftaran fakultas, mereka pasti mengerti kamu tidak perlu ke sekolah." Katanya dengan nada gelisah saat aku sedang memakai sepatu sekolah.

Aku tersenyum, lalu berdiri menghadapnya. "Valin yakin, Yah. Valin juga ada keperluan ke sekolah. Pak Dito pernah menawarkan beasiswa untuk belajar di luar negeri. Valin ingin tanya langsung kepadanya apakah peluang untuk Valin masih terbuka?"

"Kamu ingin belajar di luar negeri?" Kali ini Ayah mengerutkan dahinya. Dan membuat ku meringis. Aku belum menceritakan hal ini padanya. Pantas Ayah menuntut penjelasan dari ku.

Kepala ku mengangguk.

"Kenapa bukan di Jakarta saja? Ayah yakin jurusan musik di Jakarta sama bagusnya dengan fakultas yang ada di luar negeri,"

"Aku tahu, tapi peluang untuk aku bisa mencapai impian ku lebih besar, Yah. Apalagi di sana banyak orkestra dan juga peminatnya banyak. Aku ingin belajar di sana." Jelasku padanya, entah mengapa semenjak hubungan kami membaik, Ayah tampak sedikit cerewet padaku dari pada sebelumnya akan tetapi aku tetap saja merasa senang. Karena ia tampak begitu peduli denganku.

"Kamu mau cari beasiswa?" Tanya Ayah setelah cukup lama terdiam berpikir.

Kepala ku lagi-lagi menangguk, sehingga Ayah membuang nafasnya panjang.

"Kenapa cari beasiswa? Ayah masih bisa biayai kuliah kamu sampai luar negeri, selama ini Ayah kerja mencari uang untuk pendidikan kamu."

Aku terkekeh, mendengar penjelasan nya membuat hati ku menghangat. Ayah memang sosok yang begitu hebat dan aku bahagia mempunyai seorang Ayah sepertinya.

"Aku tahu Yah. Tapi aku ingin mandiri, aku ingin mendapatkan beasiswa dengan usaha ku sendiri, dengan itu aku tidak terlalu banyak menghabiskan uang Ayah." Ayah tertawa kecil, Ia memperbaiki letak kacamatanya.

"Ayah gak nyangka kamu begitu cepat dewasa..." Ia menatap ku dengan sorot kelembutan.

"Kemarilah sayang," katanya sambil menarik tanganku untuk di dekap nya, aku tidak bisa menyembunyikan senyum ku di dalam pelukannya.

"Ayah sayang padamu,"

"Aku juga,"

.

.

.

Jantung ku berdetak dengan kencang saat baru keluar dari mobil Ayah yang hari ini mengantar ku ke sekolah. Ia mengucapkan kata semangat sebelum beranjak pergi. Sorot mata ku meredup saat berdiri di depan gerbang ini.

"Reva, kenapa kami berdiri aja di depan gerbang? Ayo cepat masuk!" Teguran dari Pak satpam sekolah membuat tatapan ku beralih padanya. Ia tersenyum ramah padaku.

Aku mengikuti perkataan nya. "Selamat pagi, Pak. Udah lama gak liat bapak." Ujar ku kepada Pak Rahman.

Ia terkekeh kecil. "Saya juga, gimana keadaan kamu? Sudah baikan?"

Sepertinya seluruh orang di sekolah ini sudah mengetahui keadaan ku termasuk guru dan juga satpam di sekolah, hal ini membuat ku semakin takut dan merasa tidak nyaman karena tatapan orang pasti mengiba padaku seperti yang di lakukan oleh Pak Rahman sekarang ini. Aku seperti sosok yang begitu lemah.

Confession Of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang