BAB 44 Akhir dari Segalanya?

15.2K 957 144
                                    

Raynald POV

Amora Sarasvati. Wanita yang paling kuhindari di dunia ini. Wanita yang paling tak ingin kujadikan pendamping hidup. Wanita yang sangat tak ingin kutemui secara langsung. Karena aku tahu, aku takut, aku tak bisa untuk tidak menginginkannya. Aku takut, aku pun berlari sejauh mungkin, menghidarinya, memendam sangat dalam apa yang kurasakan. Namun apalah dayaku, seringkali perasaanku menuntunku secara tak sadar untuk sekedar melihatnya, mengaguminya dari jauh secara langsung namun sesaat. Secara diam-diam aku menyimpan beberapa potret dirinya. Seringkali, dalam sunyi aku mengaguminya. Ya cukup seperti ini saja.

Namun hal yang paling kutakuti pun datang. Aku tak tahu apa maksud Sang Pencipta melakukan ini. Mempertemukanku dengannya, dengan Amora. Tidak hanya mempertemukan, namun mempersatukan. Kakekku memang gila. Hanya karena ia tak bisa bersatu dengan cintanya di masa lalu, ia pun memutuskan untuk menyatukan kami. Pikiranku semakin kacau. Hatiku bergejolak. Mereka menciptakan sebuah pro dan kontra dalam diriku. Tidak. Aku memutuskan untuk tetap pada keputusan awalku. Aku mencoba membuatnya pergi. Membuatnya menyerah dengan pernikahan ini. Ya aku tahu, jika ia menyerah, posisiku sebagai seorang pun dokter tetap aman. Karena ialah yang menyerah. Ah aku memang egois. Namun batinku menentang keras. Seringkali aku terbuai untuk jatuh kepelukannya. Tidak, itu tak boleh terjadi. Hanya satu keinginannku. Ia harus pergi dari hidupku, walaupun aku tahu, sangat tahu, jika seorang Amora mencintaiku.

Begitu banyak kesalahan yang kuperbuat dulu. Hingga akhirnya kesalahan terbesar muncul dan menimpaku. Masa laluku. Masa laluku yang justru menghancurkan wanita yang sangat kucintai. Lalu karena keegoisanku, karena kekasaranku lagi, ia pun akhirnya menyerah, ia pergi. Bukankah itu bagus? Bukankah itu yang selama ini kuinginkan? Ya inilah yang kuinginkan. Amora Sarasvati pergi dari hidupku. Tapi satu hal yang tak dapat dielak. Rasa sakit, justru rasa sakit yang kurasakan saat ia pergi.

Aku merasa hancur. Ia pergi. Sungguh rasanya begitu sakit. Sekeras apapun aku berteriak memanggil namanya, selama apapun aku menangis, ia tak kunjung kembali. Ia tak kembali untuk memelukku walaupun tubuhnya gemetar jikalau memelukku seperti saat ibuku tiada. Aku mencarinya, namun ia tak kunjung kutemukan. Hal lain yang kudapatkan adalah sikap dingin ayah. Ayah sangat marah dan kecewa. Ia mengatakan ia tak akan mencabut lisensi dokter atau apapun yang berhubungan dengan profesiku. Ia pun tak akan peduli lagi terhadap apa yang kulakukan. Ya, secara tak langsung ayah seperti membuangku. Aku pun mendapat tamparan keras dari Ana. Dan untuk pertama kalinya aku melihat seorang Anastasia, temanku; rekan sejawatku; satu-satunya teman wanitaku; sosok wanita paling kuat; seseorang yang sudah kuanggap sebagai kakak perempuanku, menangis. Ia bahkan tak mau bicara ataupun mengomeliku seperti dulu lagi. Ya, ia pun kecewa. Bahkan, karena hal ini pulalah Lukas menghajar dan menghabisiku. Ia sangat marah, ia bahkan mengeluarkan begitu banyak caci dan maki padaku. Kalau bukan karena Hans dan Arka yang menolongku, aku pasti sudah mati di tangan Lukas.

Hancur, itulah yang kurasakan. Tuhan memang memiliki berbagai cara untuk menegur umatNya. Begitu banyak hal yang terjadi dengan cepat. Begitu banyak hal yang terungkap. Ayah diam-diam menangani masalah Keiko, dan akhirnya akupun mengetahui jika anak itu bukanlah anakku. Keiko memohon padaku, memohon maaf sambil menangis. Namun aku tak peduli. Karena bagiku kini, yang aku inginkan hanyalah menemukan Amora. Aku memohon pada Arka untuk mencarinya namun nihil. Amora hilang bagaikan ditelan bumi. Aku begitu frustasi. Bagaimana bisa aku menyakitinya, membuatnya pergi entah kemana. Ia tak memiliki siapapun di dunia ini. Hari demi hari berlalu. Yang kuakukan hanyalah bekerja dan sisa waktuku yang lain adalah mencari Amora. Hans mengatakan aku seperti orang gila. Ya, aku memang sudah gila. Bulan demi bulan berlalu, nihil. Ia tak kutemukan. Aku semakin frustasi, jiwaku lelah. Aku pun mencoba pulang ke rumah. Aku memandangi dapur tempat dimana ia selalu memasak makanan untukku. Aku selalu ingat bagaimana rasa masakan yang selalu ia buatkan untukku. Namun mengingatnya membuat dadaku semakin sesak. Aku kembali menangis, dadaku tersasa sesak.

Renjana (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang