Bab 28 Sebuah Surat

14.4K 821 78
                                    

Don't forget to always vote 🌟 and comment, readers

Amora mengendarai motornya pelan. Tubuhnya gemetar. Kosong, pikirannya kosong. Ia tak pernah menyangka sama sekali. Telepon yang ia dapat saat baru tiba di butik membuatnya tak bisa berfikir sama sekali. Beberapa kendaraan yang mengklaksonnya membuatnya tersadar. Ia pun mengendarai motornya lebih cepat untuk membuktikan bahwa semua ini hanyalah kebohongan belaka.

Amora pun tiba di tempat tujuannya, sebuah tempat yang tak ingin ia kunjungi lagi. Setelah memarkirkan motornya ia berjalan cepat menuju tempat tersebut. Namun saat ia tiba di pintu masuk langkahnya memelan, kakinya bergetar. Terdengar suara isak tangis di dalam sana. Seluruh tubuhnya semakin gemetar, jantungnya berdebar sangat kencang dan keras. Dengan pelan ia melangkah ke dalam, tatapan matanya lurus, menghiraukan pandangan setiap orang yang memperhatikannya sambil menangis. Amora tak mau melihat ke arah mereka, tatapan mengasihani yang mereka lontarkan pada dirinya tak sanggup ia lihat.

"Non Amora!"

Seseorang memanggilanya sambil menangis dan berlari ke arahnya. Orang tersebut adalah mbok Minah. Dengan segera ia memeluk Amora sambil menangis.

"M.. mbok... Ini bohong kan? Mbok Minah bohong kan?",tanya Amora pelan dengan suara yang tetap bergetar walau sudah ia tahan

Mbok minah menatap Amora, ia menggeleng pelan. Ia pun menuntun Amora semakin ke dalam tempat tersebut. Suara tangis semakin terdengar keras. Amora tak mau menatap ke depan, ia hanya menunduk. Langkahnya pun terhenti, tampak di depannya sebuah peti. Dengan perlahan ia menaikan wajahnya. Matanya terhenti pada sosok yang ada di dalam sana. Tubuhnya lemas, nyawanya seperti menghilang begitu saja. Matanya memburam, beberapa tetes air mata turun di pipinya.

"Non... Non harus sabar ya non.. Non harus kuat.."

Amora menggeleng pelan, ia tak percaya akan hal ini.

"Mbok ini bohong kan? Ayah pasti cuma bercanda, iya kan mbok?"

"Non...."

Amora melepas rangkulan mbok Minah, mendekatkan dirinya pada peti. Ia menatap ayahnya yang kini sudah berbaring disana. Mata ayahnya tertutup, wajahnya tampak damai disana.

"A.. Ayah...bangun... "

Tak ada jawaban.

"Ayah.. Ayah jangan bercanda.. Ayah bangun... A...ayah.. Ayah jangan membohongiku... Kumohon ayah bangun... Buka matamu... "

Tetap tak ada jawaban. Tangis setiap orang disekelilingnya yang melihat Amora semakin terdengar menyakitkan di telinganya.

"A.. Ayah... Bangun.. Bukankah ayah bilang akan terus bersamaku... Ukh... Ayah bangun... "

Melihat ayahnya tetap tak menjawab membuat air matanya semakin mengalir deras di pipinya. Tubuhnya semakin lemas, dadanya terasa sangat sesak, membuatnya tak bisa bernafas dengan teratur. Kakinya semakin lemas, tak mampu menopang tubuhnya. Saat Amora hendak terjatuh ke lantai, seseorang berlari dengan cepat kearahnya dan mengakap tubuh Amora. Dengan perlahan orang tersebut menurunkan tubuh Amora hingga terduduk ke lantai tanpa melepaskan tangannya dari bahu Amora.

"Kitty..."

Amora dengan perlahan menoleh ke arah orang yang sudah menahan tubuhnya walau ia tahu suara siapa itu.

"Kak Ray.... "

Raynald hanya terdiam, menahan getar tubuhnya. Wajah Amora sudah pucat pasi, air mata sudah membanjiri pipinya.

"Kak Ray... Ayahku sudah tidak ada..."

Nafas Raynald tercekat. Getar tubuhnya semakin terasa.

"K.. Kak... Aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi... "

Renjana (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang