Bab 30 Berbahagialah

15.7K 751 77
                                    

Amora POV

Mataku terbuka perlahan. Tampak leher dan bahu lebar seorang pria di hadapanku. Mataku mengintip dibalik bahu lebarnya. Sinar mentari nampak samar-samar karena tertutup tirai. Sudah pagi. Tubuhku hangat, bukan karena suhu tubuhku sendiri karena demam, tapi karena pria pemilik bahu lebar tersebut. Kak Ray memelukku, erat, sangat erat. Rasanya entah kenapa begitu nyaman. Tangan kanannya di puncak kepalaku dan tangan kirinya memeluk pinggangku. Aku mendongak, memandang wajah damainya saat tidur. Aku tersenyum. Sungguh, Kak Ray sangat tampan. Aku kembali membenamkan wajahku ke ceruk leher Kak Ray. Perkataan kakak tadi malam begitu teringat jelas di kepalaku.

"....lagipula... ada aku disini kitty.. "

Aku tersenyum. Jantungku berdetak sangat kencang, wajahku memanas. Aku semakin membenamkan wajahku ke ceruk leher Kak Ray, tanganku menggenggam erat kaos yang Kak Ray gunakan.

"Apa aku punya sedikit harapan untuk bersama kakak?",gumamku pelan

Entah ada atau tidak, tapi aku hanya ingin menikmati saat-saat ini. Karena aku tak tahu apakah nanti aku akan tetap bersama Kak Ray atu tidak. Tetapi, jika aku pada akhirnya tak bersama kakak, aku akan pergi kemana? Ayahku sudah tidak ada. Padahal ayah adalah tempat yang akan kutuju jika semuanya telah selesai. Mataku memanas. Aku kembali mengingat ayah.

Ayahku sudah tidak ada. Tidak akan ada lagi ayah yang selalu ada untukku. Tidak ada lagi ayah yang selalu mengetuk pintu di pagi hari dan memelukku. Tidak ada lagi ayah yang menemaniku tidur saat aku menangis karena mengingat ibu. Ayah tidak ada lagi. Aku menggigit bibir bawahku yang mulai gemetar, menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk mataku. Tak bisa, tak bisa kutahan. Air mata luruh. Aku semakin kencang menggigit bibirku, menahan isak.

"Kitty?"

Kak Ray tebangun. Ia bergerak menjauh dariku, menatapku. 

"Kenapa menangis? Ada yang sakit? Dimana yang sakit?"

Aku menggeleng pelan. Kak Ray bangun dan mengecekku. Ia mengecekku seperti aku adalah pasiennya.

"Demammu mulai turun. Apa kepalamu masih pusing?"

Aku menggeleng pelan.

"Apa ada bagian-bagian tertentu yang sakit?"

Aku kembali menggelengkan kepalaku pelan. Kak Ray menyeka air mataku. Belakangan Kak Ray selalu menyeka air mataku. Wajahnya yang selalu dingin dan kaku padaku kini berbeda. Aku menatapnya.

"Jangan menatapku seperti itu"

"Ma.. Maaf kak"

"Tunggu disini. Aku ambilkan air hangat untukmu"

Kak Ray turun dari ranjang dan berjalan cepat meninggalkanku. Aku mencoba bangun. Tubuhku masih terasa lemas. Aku bersandar pada kepala kasur sambil menarik selimut Kak Ray untuk menutupi tubuhku. Ternyata udaranya masih dingin. Saat tidur aku tak merasa kedinginan karena Kak Ray memelukku.

Kak Ray muncul sambil membawa segelas air hangat. Ia pun menyodorkan air hangat itu padaku.

"Ayo diminum dulu"

Aku mengangguk dan mengambil gelas berisi air hangat tersebut. Kak Ray tetap memegangi gelas tersebut saat aku minum. Ia terus memperhatikan wajahku. Jantungku berdebar saat Kak Ray melihatku seperti itu.

"Kau sudah lapar?"

"Belum terlalu kakak"

"Aku akan buatkan sarapan untukmu"

Aku menahan lengan kaos kak Ray.

"Kak.. Tidak usah"

"Kenapa? Apa karena aku tidak bisa memasak kau takut masakan buatanku tidak enak?"

Renjana (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang