"Apa kau tahu derajat tertinggi dari perasaan cinta seorang anak manusia? Melepaskan dan merelakan cintanya pergi"
*****
"Lalu apa yang akan kau lakukan setelah semua selesai?"
"Aku...akan kembali ke Sudan. Bahkan aku tak peduli jika profesor Ishan menendangku pergi"
"Kau yakin, nak?"
"Iya ayah"
Amora menghentikan aktifitas menyisir rambutnya. Ia menutup matanya pelan, lalu membukanya kembali. Tampak pantulan dirinya di cermin. Wajahnya yang sudah ia poles seadanya tampak disana. Tak ada sedikit pun niatnya untuk berdandan seperti biasanya. Percakapan antara ayah dan anak yang tak sengaja ia dengar saat itu terus terngiang di kepalanya.
Apa Raynald sungguh akan pergi? Apa Raynald sungguh akan kembali ke Sudan? Bukankah dari tempat itulah Raynald mendapat begitu banyak luka yang membuatnya harus di rawat di rumah sakit? Dan...apa maksud Raynald memintanya untuk membuatkannya makanan? Begitu banyak pertanyaan dan perasaan tak menentu yang kini dirinya rasakan. Bahkan sesungguhnya, beberapa pertanyaan yang menghantui dirinya tersebut sudah ia ketahui jawabannya. Namun ia mencoba tak memikirkannya, ia mengelak. Terlebih hari ini pun bersamaan dimana Nathan akan mengungkapkan semuanya dan meminta Amora untuk menjawabnya. Lalu Raynald? Amora menggeleng pelan. Ia semakin gundah. Suara ketukan terdengar dari luar pintu kamarnya. Ia pun berjalan menuju pintu dan membukanya.
"Mor, ini sudah hampir sore. Katanya kau mau keluar nak"
"Iya bi, ini sudah selesai"
Ibu Nathan memperhatikan wajah Amora. Ia merasa ada yang kurang.
"Kenapa dandananmu hari ini pucat Mor?"
"Eh pucat?"
Ibu Nathan membawa masuk Amora menuju meja rias dan mendudukkannya di kursi. Ia membubuhkan sedikit blush on dan mengganti warna lipstik nude Amora menjadi warna pink.
"Lihat, ini lebih baik",ucapnya lembut
"Terima kasih bibi"
Ibu Nathan menatap Amora dan memeluknya erat, sangat erat. Ia sungguh menyayangi Amora seperti anaknya sendiri. Dan ia sungguh tahu apa yang sekarang Amora hadapi. Ia sungguh tahu apa yang Amora rasakan. Ia sungguh tahu, bahwa anak laki-lakinya, Nathan pun mencintai Amora. Namun, dirinya tak dapat mencampuri masalah perasaan keduanya. Ia melepas pelukannya, lalu menatap Amora sambil mengelus pelan kedua pipi Amora.
"Sayang, dengarkan bibi. Ingat, jujurlah pada hatimu. Ikuti kata hatimu. Karena apa yang hatimu rasakan adalah hal yang paling jujur mengenai apa yang sebenarnya kau inginkan, yang sebenarnya kau rasakan, dan yang sebenarnya dapat membuatmu bahagia. Kau mengerti"
"Bi..Bibi..."
"Dan berjanjilah padaku, jangan panggil aku bibi. Kau sudah kuanggap seperti anakku Mor. Panggil saja aku ibu. Entah seperti apapun situasi dan kondisinya kelak, saat kau bersedih dan membutuhkan seorang ibu, aku akan menjadi sosok ibu yang kau butuhkan walaupun aku tidak bisa menggantikan ibumu. Kau janji?"
"I..Iya ibu.."
Amora menangis, begitu pun ibu Nathan. Mereka pun saling berpelukan erat. Entah bagaimana, tapi Tuhan telah mempertemukan mereka,seorang ibu yang begitu merindukan anak perempuannya, dan seorang anak yang merindukan sosok ibunya. Mereka pun melepaskan pelukan satu sama lain, saling menyeka air mata sambil tersenyum.
"Ayo, cepatlah berangkat. Nanti masakanmu keburu dingin"
"Iya ibu"
Perjalanan yang dilalui cukup lancar, walau sempat terhadang macet di beberapa titik. Amora pun tiba di rumahnya dan Raynald, dulu. Terakhir kali kemari, yang ia dapatkan merupakan hal yang buruk. Kedatangannya kemari semoga tidak terjadi hal yang buruk lagi. Sudah cukup banyak hal yang terjadi di rumah ini. Ia berdiri terdiam di depan gerbang rumah tersebut sambil menggenggam erat bungkusan berisi masakannya untuk Raynald. Jantungnya berdebar kencang, ia menghela nafas panjang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana (END)
RomanceLet's follow my account first . Ketika sebuah surat wasiat mempertemukan kembali keduanya setelah sekian lama. Membuat mereka terikat oleh janji sehidup semati, pernikahan. Sebuah surat wasiat dari sang kakek membuat Raynald Abigail Kuncoro, sang do...