Bab 50 Memastikannya

13.8K 788 121
                                    

Suara lonceng terdengar begitu nyaring di telinga, aroma semerbak bunga yang di tata disekitar begitu terasa oleh indra penciuman. Ruangan tersebut sudah dipenuhi oleh orang-orang dan duduk di setiap kursi yang tersedia disana. Terdengar perbincangan riang gembira dari mereka. Raynald berdiri di belakang kursi pada baris terakhir, memandang seluruh situasi yang ada disana. Iring-iringan musik kini terdengar. Tampak di depan altar seorang pria yang tak dapat Raynald lihat wajahnya dengan jelas. Pintu pun terbuka, seorang wanita yang begitu Raynald kenal muncul disana, mengenakan gaun pernikahan dengan dominasi warna putih. Amora. Jantung Raynald berdetak begitu kencang. Amora memandang lurus ke depan, menatap sang pria yang menunggunya di depan altar. Senyumnya begitu lebar dengan semburat merah muda di pipinya, ia tampak begitu bahagia.

Amora berjalan menuju altar diiringi lagu yang begitu indah. Raynald mengikuti langkah Amora dari sebrang deretan kursi para undangan sambil menatap setiap inci wajah Amora dengan ekspresi bahagi terpangpang disana, ekspresi yang sangat ingin Raynald lihat. Langkah kaki Raynald terhenti saat dirinya tiba pada barisan terdepan kursi yang diduduki para tamu undangan. Matanya tak lepas memandangi Amora yang terus berjalan maju mendekati altar. Pria tersebut mengulurkan tangannya disambut oleh uluran tangan Amora. Mereka berdiri berdampingan, janji suci mereka ucapkan secara bergantian. Raynald tersenyum, hatinya begitu tenang walau ada rasa sakit yang membekas begitu dalam disana. Riuh para tamu begitu terdengar tatkala mereka dinyatakan sebagai sepasang suami istri. Raynald membalikan tubuhnya, berjalan menjauh dari sana, tak menghiraukannya. Ia berjalan semakin jauh, keluar dari sana. Melihat Amora bahagia, itulah hal terakhir yang ia inginkan.

*****

Mata Raynald perlahan terbuka, ia menoleh pelan kearah jendela yang tertutupi oleh tirai. Cahaya pagi samar dapat Raynald lihat walau tirai menutupinya. Ia merasakan jika matanya basah. Apa ia menangis dalam tidurnya, lagi? Ia pun menyeka air mata tersebut pelan. Samar mimpinya barusan dapat ia ingat, wajah Amora yang begitu bahagia, bersanding dengan seorang pria yang dapat membuat ekspresi yang begitu Raynald inginkan dari Amora. Ya, mimpi. Itu cuma mimpi. Mimpi yang Raynald harapkan menjadi kenyataan.

"Apa kebiasaan lamamu kembali lagi, Enald?"

Raynald refleks menoleh ke arah suara tersebut. Tampak ayahnya duduk di kursi samping bednya. Raynald memejamkan matanya sebentar lalu mencoba bangun, namun rasa sakit yang tak sesakit semalam terasa. Namun ia mencoba posisi duduk, lelah dengan posisinya yang terus berbaring.

"Dan kau tetaplah anak yang bandel"

"Sesuka ayah mau menyebutku apa",jawabnya ketus

Rendra, ayah Raynald, hanya dapat menghela nafas pelan. Anaknya tidak berubah, selalu ketus dan dingin padanya, tidak seperti dulu, saat keluarga mereka masih dalam keadaan utuh.

"Bagaimana rasanya bertemu kembali dengan Amora?"

Raynald yang ingat akan kejadian semalam sontak mencari wanita itu di setiap sisi ruang rawat inapnya. Tidak ada.

"Dia sudah kuminta untuk pulang tadi malam. Kau tahu, dia bahkan terjaga untuk menjagamu saat kau tertidur semalam. Amora itu wanita yang luar biasa, bahkan setelah kau menyakitinya dan mengusirnya pergi, ia tetap menjagamu"

Raynald hanya terdiam. Ia kembali mengingat apa yang terjadi semalam. Mereka hanya berpelukan begitu erat, cukup lama, sambil menangis. Setelahnya, Amora memaksanya untuk makan. Begitu banyak hal yang tidak berubah dari Amora, selalu gemetar setiap kali berada di dekat Raynald, tak mau memadang wajah Raynald secara langsung. Namun ada satu hal yang berubah dan begitu menyita perhatian Raynald. Rambut panjang Amora, yang sangat Raynald sukai, kini sudah ia potong menjadi pendek.

Renjana (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang