1. Awal masuk

15.7K 819 12
                                    

Tahun ajaran baru.

Dimana semua peralatan sekolah serba baru. Tas, sepatu, buku dan alat tulis, semuanya di upgrade. Tas yang dulunya lemes berubah kaku, sepatu yang udah buluk sekarang bagus lagi, bulpen dan alat tulis yang sudah mau habis sekarang utuh lagi.

Pagi ini hanya ada Adel, Satya, dan Nevan di meja makan. Lya tengah sibuk di dapur menyiapkan bekal, sedangkan Ken masih di kamarnya entah sedang apa.

Adel yang baru masuk masa SMA, sibuk menanyai Nevan --yang sedang fokus memakan roti dengan kalem-- MPLS nya nanti menakutkan atau tidak.

"Kak, entar itu ngapain? Ada apel pembukaan, ya? Ih, pasti panas, ya? Pembinanya kalau pidato lama, gak? Terus kira-kira entar boleh gak, aku barisnya yang deket pohon biar adem? Eh, nanti ada anak pmr gak sih? 'Kan aku bisa mundur aja pura-pura sakit. Terus nanti kelasku siapa yang jaga? Galak gak, kak? Suka bentak, gak? Bawel gak sih, kak?"

Nevan melengos tak peduli.

Bodo amat, Ru. Adanya kamu yang bawel.

"Ih, bang, masa kak Nevan gak jawab," rengeknya mengadu ke Satya yang sibuk sama ponsel sedari tadi mendapat telpon teman-temannya minta Satya mejadi teman sebangkunya.

Karena menjadi teman sebangku Satya itu banyak untungnya, apalagi kalau pulpen mendadak habis, pasti dikasih pinjam. Enaknya lagi jika ada tugas kelompok satu bangku, Satya benar-benar bisa diandalkan.

Kalau presentasi Satya yang menjelaskan, alhasil kelompoknya hanya diam menambahkan sedikit. Ketika ada sesi tanya jawab, Satya selalu mengacungkan tangan dan memberi pertanyaan menjebak, membuat kelompok yang ditanyai bungkam kehilangan kata-kata.

Satya memang sebaik dan semenyebalkan itu.

"Udah diem sarapannya dimakan," Satya meletakkan ponsel di atas meja, capek sendiri dengan spam WA yang diberikan teman sekelasnya.

Adel mencebikkan bibirnya dan melahap roti coklat dalam diam.

Suasana yang tadinya tenang seketika rusak karena teriakan Ken dari kamar lantai dua.

"NDARRUUU! Ichi nih, gangguin mulu dasi gua dimainin!"

Adel mengulum bibir bawahnya geram, "YAUDAH SIH TINGGAL SINGKIRIN! Berisik banget! Gak tau orang lagi makan?!!"

Memang siapa yang tidak kesal, sedang membuka mulut akan menggigit roti tiba-tiba mendengar teriakan kencang itu, jelas saja Adel tersentak kaget.

"DASI GUA DIBAWA LARI, MONYET!"

"HE! Bilang apa coba ulangin?!!" Satya langsung mendongak bersiap mengeluarkan amarahnya mendengar Ken mengumpat.

Ken menuruni tangga berusaha mengejar Ichi, kucing milik Adel yang berlari ke pemiliknya meminta perlindungan.

"Enggak, gak bilang apa-apa. Eh, Ru ambil dasi gue itu!" Ken memekik heboh menunjuk Ichi yang meringkuk di bawah kaki Adel, sebenarnya dia juga mengalihkan perhatian agar tidak jadi dimarahi Satya.

Ichi semakin meringkuk, mengeong seolah meminta bantuan Adel. Gadis itu menghela napas paham, ia merunduk menggendong Ichi yang masih memeluk dasi milik Ken.

"Ichi, balikin dasinya!" Adel mengangkat kucing itu sejajar dengan wajahnya. Untuk beberapa saat kucing itu mengerjap bertatapan dengan Adel, lalu melepas dasi Ken hingga jatuh dipangkuan Adel. Gadis itu tersenyum bangga.

"Kucing pintar!"

Adel membawa Ichi ke pelukannya dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya melempar dasi Ken seenaknya ke lantai.

"Noh, ambil." Si empunya mendelik, mengambil dasinya dengan sekali sentakan menunjukkan dia kesal.

"Lain kali kucing lo disekolahin biar pinter!"

"Idih, kakak aja yang disekolahin masih tetep bego," gumam Adel membalas gerutuan Ken.

Untungnya Ken tidak mendengar, ia menuju kursi kosong di di sebelah Adel dan melahap roti lapisnya yang sudah Lya siapkan.

"Lo nanti jangan bandel. Hari pertama harus jaim dulu," ucap Ken seraya menoleh menatap Adel, tapi Adel tidak merespon, sibuk mengelus Ichi.

"He!"

"Ish, iyaa.."

"Makan sana, berisik mulu." Adel mendengus kecil dan melanjutkan aktivitasnya memanjakan Ichi, kucing berbulu jingga-putih kesayangannya.

"Ru, entar pulangnya sama kak Nevan, ya. Abang ada urusan dulu sama pembina PD." ucap Satya yang duduk di seberang meja makan.

Adel mengangguk kalem. Sedangkan Nevan menggeleng tak setuju.

"Aku nanti ada rapat osis buat persiapan besok,"

Satya mengangguk mengerti, ia menatap Ken yang duduk di samping Adel. "Ya udah, Ndarru pulang sama Ken."

"Ha? Gak!" Ken mendongak dan menggeleng kuat tak terima. Adel hanya diam mencibir.

Satya mengernyit, "Lo mau apa? Ngapel? Anterin Ru dulu, baru boleh ngapel."

"Dih, bang! Gue ada basket entar." Ken menunjukkan wajah memelasnya. Adel yang melihat itu mendengus memutar bola matanya.

"Ya udah Ndarru pulang sendiri. Susah amat,"

Satya menoleh dan menggeleng tegas. "Gak, gak ada. Ken, lo mau nganter Ru atau uang bulanan lo cuma gue kasih setengah?" ancam Satya membuat Ken kembali mendelik tak setuju.

Melihat Satya terus menatapnya tajam, Ken mau tak mau mengiyakan. Ia mendengus dan mengangguk pasrah.

"Iya-iya. Untung gue baik."

"Bekalnya udah jadi!"

Dari arah dapur, Lya dengan riang berjalan membawa 5 kotak bekal untuk saudara-saudaranya.

"Widih... apa nih teh? Nasi goreng ya?" ucap Adel semangat. Lya menggeleng seraya tersenyum simpul.

"Sesuai request Satya, teteh buatin salad sama sandwich!"

"Lah?!"

"Ih, gak mau!"

Ken dan Adel langsung berucap bersamaan. Nevan hanya menoleh sekilas lalu kembali memakan rotinya kalem membayangkan dia ditempat paling sepi tanpa adanya keributan kedua kucing dan anjing itu (baca: Adel dan Ken).

"Kenapa?"

"Gak mau 'lah, bang! Masa aku dikasih makan gituan emang kambing?!" Adel menggidik jijik, disusul anggukan kuat dari Ken.

Kali ini mereka satu pemikiran, anti sayuran club.

Satya mencebik, "Itu makanan sehat! Dikira abang gak tau kamu sama Ken kemaren diem-diem beli cimol di depan SD, ha?!" Satya menaikkan alisnya menantang. Membuat Adel dan Ken bungkam saling bertatapan.

"Gak berani bantah kan? Sekarang ayo berangkat!"

Kedua saudara itu menghela napas pasrah. Karena mau bagaimana pun, tidak ada yang bisa membantah perintah Satya.

***

AURIGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang