28. Tanpa kehadiran

5.8K 526 37
                                    

Happy reading!

Jangan lupa baca author note di bawah yaa!

***

Acara pertemuan keluarga.

Sebuah acara tradisi yang rutin diadakan tiap 3 bulan sekali, dimana seluruh keluarga besar berkumpul bersama, makan bersama, dan bersenda gurau. Semua datang dalam acara ini, dari yang tertua hingga yang termuda. Semua dilakukan agar silahturahmi tetap berjalan meskipun terhalang jarak.

Acara dilaksanakan di kediaman Indra, suami Riana yang mana juga ayah dari Ken dan Lya. Halaman rumahnya yang luas menjadikan rumah ini sebagai tempat diadakannya acara. Biasanya kegiatan rutin ini dilaksanakan di Bandung, namun kali ini seluruh keluarga besar sepakat untuk acara kali ini berada di Jakarta.

Acara dimulai pukul 8 pagi di hari minggu. Pembukaan diisi dengan sambutan-sambutan dari yang tertua, Dendra dan Retha, sepasang suami istri yang merupakan kakek-nenek kelima Auriga. Juga dari adik laki-laki Retha, Robbi yang memberi sambutan sendirian, karena sang istri sudah tiada lantaran penyakit yang membuatnya tidak bisa bertahan hidup. Kemudian dilanjut sambutan dari anak-anak mereka yang sudah membina rumah tangga.

Acara akan dilanjut dengan sarapan bersama. Tinggal menunggu beberapa sambutan lagi.

Gadis bergaun biru tua selutut tanpa lengan itu nampak gelisah, duduk menjauh dari seluruh keluarga besarnya menunggu seseorang di seberang mengangkat telpon.

Tadi malam papa menelponnya, mengatakan pada Adel bahwa dia bisa hadir dalam acara. Tentu saja Adel senang bukan main, seberapa kesalnya Adel pada papanya, tak dapat menghilang kerinduan yang terpendam sekian lama.

Yang biasanya Adel akan murung setiap kali acara keluarga, kali ini gadis manis dengan gigi kelinci itu terlihat antusias berdandan demi bertemu dengan papanya, rambut hitam kecoklatannya sengaja Adel gerai lurus, gaun yang ia kenakan juga hasil pembelian beliau.

Adel langsung tersenyum lega begitu telponnya diangkat.

"Pa? Gimana? Jadi kan?" tanya Adel semangat.

Terdengar helaan napas dari seberang.

"Maaf, mendadak papa tidak bisa hadir. Tiba-tiba pagi tadi ada kiriman pekerjaan yang harus papa selesaikan hari ini juga."

Deg. Seperti ada ribuan jarum yang menusuk dadanya. Rasanya sesak, matanya terasa menghangat sekarang, namun Adel berusaha untuk tetap tersenyum meski dipaksakan.

"Padahal papa sudah bilang semalaman kalau papa bisa datang." Sebisa mungkin tidak ada nada kecewa di setiap perkataannya. Namun Adel ragu, rasanya sangat sulit menahan tangisnya.

Tak ada sahutan lagi. Hanya ada helaan napas berat yang Adel pastikan itu berasal dari hembusan napas papanya.

"Maafkan papa, sayang."

Adel tetap memaksakan dirinya untuk tetap tersenyum, air mata yang mengalir di pipinya lantas ia hapus secepatnya.

"Gak papa kok. Papa jangan terlalu capek kerja. Nanti sakit." lirih Adel dengan suara yang bergetar.

Tidak ada sahutan lagi. Adel rasa ini sudah cukup.

"Sudah dulu ya, pa. Adel mau temui semuanya dulu, papa juga harus kerja kan?" meskipun suaranya lirih, Adel berupaya berucap semanis mungkin. Adel enggan membuat papanya malah kepikiran.

"Iya."

Tanpa pikir panjang Adel segera memutus sambungan. Semakin lama berbicara dengan papanya akan membuat dadanya semakin sakit. Ia tidak mau papa mendengar suara tangisannya yang tak lama lagi akan semakin kencang.

AURIGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang