52. Lenyap

8.7K 1.1K 1.9K
                                    

Lorong rumah sakit ternama di kota itu begitu sunyi dan dingin. Membuat siapa saja dibuat merinding jika berada di sana. Namun lain dengan yang dirasakan keempat remaja itu. Duduk gelisah di kursi ruang tunggu diselimuti rasa khawatir, resah, dan penuh harap, terus merapalkan doa untuk keselamatan seseorang di dalam ruang operasi.

Tak lama suara langkah sepatu memenuhi keheningan, terdengar mendekat dan berhenti di kursi kosong seberang. Seseorang itu menduduki kursi itu tanpa sepatah kata pun.

Nevan mendongak kemudian, tangannya saling berpautan gelisah memandang seseorang di seberang.

"Bukan dia 'kan?" tanyanya yang lebih terdengar penuh penekanan.

Nevan memandangi Satya yang menunduk dengan sorot mata sukar diartikan. Seketika Nevan seperti mendapat pukulan keras di dadanya melihat Satya hanya menggeleng pelan.

Ken yang juga memerhatikan Satya melengos tak dapat menahan amarahnya. Rasa khawatir akan kondisi Lya dan marah pada si pelaku melebur di hatinya.

"Emang gak seharusnya kita berjuang buat kebahagiaan dia."

Shelia yang melihat tangan Ken terkepal kuat bergerak untuk menggenggamnya, meremas lembut menyalurkan ketenangan.

Alivia mengusap bahu Nevan, menghela napas pelan seakan tertularkan perasaan sesak yang kekasihnya rasakan. Ia tidak menyangka masalah mereka akan serumit ini, hingga menimbulkan korban dengan kondisi yang cukup parah.

Namun bukan berarti mereka berhak menghakimi seseorang, bahkan kepasa sepupu yang begitu dekat dengan mereka. Alivia sangat tidak percaya jika Adel yang sengaja melempar pot bunga. Tidak ada bukti jelas yang menunjukkan Adel 'lah yang bersalah, namun mereka sudah mengklaim bahwa gadis itu tentu dalang dari semua ini.

"Maaf sebelumnya. Ada saksi yang liat langsung kalau Adel memang bersalah? Maksudnya, kalian gak bisa nuduh Adel sembarang tanpa bukti yang nyata." ujar Alivia memberanikan diri menyuarakan isi pikirannya.

Hening beberapa saat.

Satya menggeleng, menatap Alivia sejenak dan kembali memandang lantai putih rumah sakit. "Cuma ada bukti CCTV, tapi gak ada rekaman siapa yang melempar, semua rekaman hanya sampai saat Adel bentak Faldi."

Mendengar itu sontak membuat Nevan memandang Satya tak habis pikir.

"Itu bahkan gak bisa disebut dengan bukti, bang. Orang seperti lo tentu bisa ngerti itu 'kan?"

Ucapan Ken berikutnya berhasil mengalihkan perhatian Nevan dari Satya.

"Lo masih coba belain anak sialan itu, Van?"

Ken menatap nyalang Nevan berusaha meredam kuat emosinya, yang dibalas Nevan dengan tak kalah tajamnya.

"Bisa aja ini alur rencana si peneror, mereka retas CCTV sekolah dan hapus video akhirnya. Kita gak pernah tahu sejauh mana kemampuan peneror itu, Ken."

"Dan lo gak pernah sekali aja mikir kalau ini rencana Adel? Kita juga gak pernah tahu jalan pikiran dia."

"Lya sepupunya sendiri! Sangat gak mungkin kalau dia sengaja lakuin ini." Nevan berusaha sekuat tenaga untuk menekan suaranya agar tidak mengganggu operasi. Tapi hal itu tidak berlaku pada Ken.

Keadaan semakin panas dengan perdebatan mereka. Satya bergeming tak mampu melerai, tenaganya seakan terserot habis akan kenyataan yang menimpa mereka. Begitu pun dengan Shelia dan Alivia, sekuat apapun melerai tidak akan dihiraukan. Telinga mereka seakan tertutup rapat, tidak akan berhenti sebelum salah satu dari mereka mengalah.

"Sebelumnya lo harus inget Lya pernah sakitin hatinya! Besar kemungkinan anak sialan itu nyimpen dendam."

Nevan beranjak dan menarik kerah seragam Ken, emosinya langsung tidak terkendali mendengar ocehan Ken yang terus memaki-maki Adel.

AURIGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang