47. Belajar menerima

5.3K 458 70
                                    

Satu minggu berlalu. Hingga Adel lagi-lagi harus menguatkan hati menghadapi hari ini. Hari dimana kedua insan meresmikan janji suci menjadi pasangan yang sah.

Acara pernikahan Papa.

Acara ini diadakan di Serang. Semua keluarga dari Jakarta juga Bandung menghadiri, termasuk Adel. Namun sejak datang di acara, Adel lebih banyak diam. Keluarganya berulang kali mengajak untuk berbincang, namun Adel tak acuh. Ia duduk bergeming di meja baris ketiga dari depan dengan pandangan tertuju pada pelaminan dimana ada Papa dan Mama barunya disana.

Adel senang karena melihat sorot bahagia di mata Papanya. Namun hatinya hampa, melihat seseorang yang berdampingan dengan Papa bukan lagi Mamanya.

Jika boleh meminta, Adel ingin kembali ke masa lalu. Ke masa dimana Adel masih bisa melihat Mama, memeluk Mama dan menyuruh Mama untuk selalu meminum obatnya. Bukannya hanya diam saja, menuruti keinginan Mama untuk tidak mengatakan pada Papa kalau Mama sedang sakit.

Adel sangat menyesal. Karenanya yang menuruti permintaan Mama, semua menjadi hancur berantakan. Posisi Adel serba salah kala itu, Mama akan marah jika Adel mengadu pada Papa, Mama juga tidak mau lagi menyayangi Adel jika Adel mengadu. Namun jika Adel tidak mengadu, akan seperti ini akhirnya.

Andai saja Adel tidak menurut, Mama pasti akan sembuh. Dan bersamanya hingga saat ini.

Tiba-tiba Gio datang dan duduk di sebelahnya. Pemuda itu memperhatikan Adel yang melamun. Gadis itu nampak anggun dengan gaun putih tulang dan rambut tergerainya.

"Hai."

Adel menoleh sekilas. "Hai."

Gio tersenyum tipis melihat Adel kembali melihat ke depan. "Keluarga kamu seru-seru, ya. Aku suka sama Satya, dia pemikirannya tinggi, udah keliatan kalau dia penerus perusahaan."

"Jangan suka berlebihan, 'kan sama-sama cowok." gurau Adel sembari mengalihkan pandangan dari pelaminan ke pemuda di sampingnya. Gio sangat tampan dengan tuxedo biru tuanya.

Gio tertawa ringan menanggapi. "Bukan gitu maksudnya, dek. Kapan-kapan aku mau main bareng sepupu-sepupu kamu, boleh 'kan?"

Adel mengangguk, menunjukkan senyum manisnya. "Bukan sepupu aku, sepupu kita. Kakak udah jadi bagian keluarga aku sekarang."

Gio terhenyak.

Jadi... kehadirannya diterima?

"Serius?" Gio melebarkan mata tak percaya.

"Iyaa. Mulai sekarang, jadi Aa' Gio aja gimana?" Adel menatap Gio dengan binar di matanya.

Ya, Adel ingin belajar menerima semua mulai dari sekarang. Selama ini memang apa yang menjadi masalah? Adel hanya terpatok pada kekecewaannya, sehingga lupa ada kebahagiaan yang ada di depan mata menyambutnya.

Gio terpaku, rasanya seperti mendapatkan penghargaan berharga dalam hidupnya. Ia lantas mengangguk antusias dan tersenyum lega.

"Terimakasih."

***

Seiring berjalannya waktu, Adel yang dulu kembali. Menjadi tengil, usil, dan cerewet. Saat pernikahan Papa hari itu, Adel sempat berbincang dengan Arinda, Mama barunya. Namun hanya sebentar, itu pun Adel lebih banyak diam sebab canggung. Jauh dalam diri Adel masih belum ikhlas ada seseorang yang menggantikan posisi Mamanya.

Awalnya Adel belum memberi keputusan pada Papa untuk tinggal bersama di rumah lama. Adel masih bingung dan ragu. Adel takut apa yang ia harapkan tidak sesuai dengan kenyataan. Ia juga masih ingin tetap tinggal bersama keempat sepupu yang begitu menyayanginya selama ini.

AURIGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang