40. Kebahagiaan?

6K 500 89
                                    

Please banget bacanya pelan-pelannya ya, teman-teman.


Happy reading!

***

Papa benar-benar menorehkan luka mendalam di hatinya. Adel kecewa, sangat kecewa. Adel memilih tidak diundang daripada menyaksikan hal yang meremukkan hatinya semacam ini.

Mana yang katanya papa begitu setia pada mama? Mana seseorang yang dulu terus menyalahkan Adel sebagai pembunuh orang tercintanya? Mana seseorang yang berjanji di depan pusara mamanya akan menjaga Adel sepenuh hatinya? Papa telah mengingkari itu semua. Atau lebih tepatnya papa lupa dengan semua janjinya itu.

Tidak cukupkah papa menyayat hati Adel dengan mengacuhkannya selama ini? Tidak memberinya kabar dan menanyai kabarnya? Tidak pernah ada waktu untuk menemuinya, menelponnya, atau sekadar membalas pesannya. Papa hanya memerintah orang suruhannya untuk mengatur semua biaya hidupnya. Bahkan saat Adel kalap di acara keluarga waktu itu, papa tidak ada respon sekecil apapun. Seakan Adel bukan lagi darah dagingnya setelah kejadian meninggalnya sang mama.

Adel benar-benar muak.

Gadis manis itu tidak sanggup lagi menahan sakit yang teramat perih. Ia beranjak keluar gedung dengan langkah cepat tanpa menunggu jawaban wanita itu. Ia takut akan semakin hancur begitu mendengarnya. Adel tidak siap dengan semua yang terjadi setelahnya.

Pemuda misterius itu ikut beranjak dan terus mengikutinya, namun Adel tidak peduli lagi dengan itu. Yang ada di pikirannya sekarang hanya ada mama. Adel ingin cepat-cepat bertemu mama, apapun caranya.

"Adel!" pemuda misterius itu mencekal kuat tangan Adel, menarik gadis itu dalam sekali hentakan dan memeluk erat gadis itu.

Adel memberontak, berusaha melepas paksa pelukan pemuda itu dan mendorongnya menjauh. "Jangan pedulikan saya!" bentak Adel dengan napas memburu. Ia kesulitan bernapas karena sesak yang sedari tadi dirasakannya. Seakan ada sesuatu benda berat yang menghimpit dadanya kuat.

Adel kembali berlari mendekati gerbang, namun pemuda itu lebih dulu menahannya lagi.

"Jangan kayak gini. Biarkan mereka bahagia, Del." mohon pemuda itu, dari nadanya terdengar sangat memilukan.

Adel berbalik, menatap tajam pemuda itu dengan air mata yang terus mengalir di kedua pipinya. "Biarkan mereka bahagia? Mau sampai kapan aku terus-terusan ngalah dengan kebahagiaan papa?! Papa selalu memikirkan kebahagiaannya tanpa mikir perasaan aku, kak! Kapan aku bisa dapat kebahagiaan juga?! Kenapa semua orang bisa mendapatkan kebahagiaan sedangkan aku gak bisa?! Jawab, kak!" teriak Adel meluapkan segala emosi yang sedari tadi ditahannya. Ia menangis kencang, kakinya sulit sekali untuk menahan tubuhnya untuk tetap berdiri, ditambah kepalanya berdenyut ngilu serta telinga yang terus berdengung membuat Adel terjatuh lemas.

Pemuda itu terburu membantu Adel berdiri dan memapah gadis rapuh itu ke bangku taman di gedung itu untuk duduk disana.

"Jawab, kak." tangis Adel terhenti seketika. Emosinya sangat cepat berubah, bisa menangis tersedu kemudian terdiam tiba-tiba. Sangat mengkhawatirkan untuk kondisi mentalnya.

"Saya janji akan kasih kamu kebahagiaan, Del." pemuda itu berucap sehalus mungkin. Ia duduk menyamping sembari menggenggam erat telapak tangan Adel yang dingin. Menatap sayu manik mata gadis cantik itu.

Mata coklat itu mengarah ke depan dengan sorot kosong, sorot mata yang menyimpan banyak luka memedihkan.

"Semuanya selalu ngomong gitu, kak. Tapi nyatanya kalimat itu hanya sebatas kata-kata penenang. Mereka cuman kasihan. Gak ada yang bener-bener tulus ngasih aku kebahagiaan." balas Adel datar. Seperti sebuah patung yang dapat berbicara.

AURIGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang