25. Pecundang

5.5K 372 6
                                    

Happy reading:)

***

+62 81758745xxx

*picture

One by one atau foto ini beredar di seluruh sekolah. Gue tunggu di lapangan indoor jam pulang sekolah.

Emosi Ken langsung tersulut begitu mendapat pesan itu. Apalagi melihat foto Selia yang sedang mabuk dengan keadaan memalukan, membuat Ken ingin sekali meremukkan tulang-tulang si pengirim.

Begitu sampai di lapangan basket indoor, Ken mendapati cowok bertubuh tinggi sedang mendribble bola dengan posisi membelakanginya.

"Apa kabar, Ken?"

Cowok itu membalikkan badan, lantas menyeringai begitu mendapati Ken yang terkejut.

"Kenapa, Ken? Kaget?" cowok itu menaikkan alisnya seraya memiringkan kepala.

Ken sontak berdecih. "Dapat uang darimana lo sampai bisa keluar penjara?"

Cowok itu berjalan mendekati Ken membawa bola basket di tangannya.

"Lo gak perlu tau. Yang gue mau sekarang, kita satu lawan satu. Atau--"

Cowok itu menggantung ucapannya. Mendekatkan mulutnya di samping teliga dan berbisik.

"Cewek mulus itu buat gue."

Tangan Ken mengepal, berusaha mengendalikan dirinya untuk tidak melayangkan tinjuan sekarang. Sebab percuma menghabiskan tenaga beradu tinju dengan Rendra, cowok itu tidak akan pernah mau kalah, sebut saja dia pecundang bermuka tebal.

Sekarang Ken berganti membisikkan sesuatu pada Rendra.

"Gak usah banyak bacot, gue alergi sama pengecut." singkat, padat, namun berhasil menyulut emosi Rendra.

Tanpa membuang waktu mereka memulai pertandingan tanpa wasit. Ken harus berhati-hati karena Rendra pasti akan main kotor. Dan benar saja, Rendra berusaha menjebak Ken dengan segala cara agar Ken tersandung.

"Loser tetap loser. Lo gak kapok masuk penjara gara-gara buat anak orang meninggal di pertandingan?" ujar Ken sembari merebut bola. Berhasil, dengan cepat Ken mendribble bola menuju ring dan melakukan shooting.

Bola oren itu masuk ke dalam ring, 1 point untuk Ken.

"Gue gak bakal kapok sebelum bisa dapetin cewek itu, minimal gue kudu ngerasain tubuhnya dulu."

Bola oren itu ada di tangan Rendra sekarang, Ken merebutnya kembali.

"Lo gak akan pernah bisa rasain tubuhnya, bahkan untuk menyentuh kulitnya. Karena lo jelas akan kalah." balas Ken dan dengan sekali gerakan bola itu beralih ke tangannya. Ken melakukan shooting lagi dan berhasil mencetak 3 point.

Rendra tentu semakin geram. Apalagi melihat seringai Ken yang sangat menyebalkan baginya.

Rendra kembali mengambil bola dan mendribblenya. Melihat Ken yang berdiri santai memperhatikan tak berusaha merebut bola membuatnya mendengus. Rendra pun melakukan shooting, namun bola itu meleset tak masuk ring.

"Masih lanjut atau nyerah aja? Bahkan gue diemin pun lo tetep gak bisa, Ren." ledek Ken. Ia tak habis pikir dengan cara pikir Rendra yang begitu ambisius ingin mengalahkannya.

Rendra tak peduli atas apa yang Ken ucapkan. Cowok itu mencoba lagi dan keberuntungan diperolehnya, bola oren itu masuk ke dalam ring. 3 point untuk Rendra.

Kali ini Ken tidak tinggal diam, merebut bola dan mendribble bola itu ke ring. Rendra mengejar, berupaya merebut bola kembali. Otak jahatnya bekerja, tanpa Ken duga Rendra sengaja membenturkan bahunya dengan bahu Ken, membuat Ken yang tidak siap hilang keseimbangan dan terjatuh.

Ken mengerang kesakitan, bahu kanannya seakan remuk setelah bertubrukan lantai. Sementara Rendra, dengan santainya mengambil bola dan melemparnya keras ke dada Ken.

Rendra berjongkok di samping kiri Ken, tak ada sedikit pun rasa simpatinya memperhatikan Ken yang menahan sakit.

"Seharusnya lo lebih hati-hati lagi. Karena main kotor tetap jadi cara jitu buat gue."

Setelah itu, Rendra bangkit dan meninggalkan Ken disertai senyum liciknya.

"PENGECUT LO, BANGSAT!" teriak Ken begitu menggelegar di setiap sudut lapangan indoor. Rasa sakit bercampur kesal ia rasakan. Rendra benar-benar pecundang, sangat licik demi memuaskan keinginannya.

Sembari menahan rasa sakit di bahunya, Ken berusaha bangkit. Tepat saat itu pula terdengar suara pintu yang dibuka dari luar, terlihatlah Shelia dengan raut cemasnya.

"Ken!" gadis itu berlari menghampiri Ken dan membantunya. Memapah pemuda itu keluar gedung menuju parkiran.

Ken meringis, memegang erat bahu Shelia. Shelia pun memperlambat langkahnya.

Sepanjang jalan hanya ada suara ringisan kecil dari Ken.

"Kenapa diem aja?" ujar Ken yang merasa aneh memperhatikan sikap Shelia.

Shelia menggeleng pelan, ia hanya menunduk dalam tak berani bertatap muka dengan Ken.

"Shel." Ken menghentikan langkahnya, Shelia pun ikut berhenti.

Tangan kiri Ken terulur menarik dagu Shelia agar gadis itu menatapnya. Jarinya bergerak menghapus air mata yang mengalir di pipi putih itu.

"Kenapa nangis?"

Shelia menjadi terisak. Hatinya sungguh sakit melihat keadaan Ken sekarang.

"Seharusnya lo gak perlu lakuin ini, Ken." lirihnya.

"Lo ngomong apa sih?" Ken mengacak rambut Shelia dan menarik sudut bibir gadis itu.

"Biasanya gue suka liat cewek nangis karena kebrengsekan gue. Tapi sekarang, gue benci liat cewek di depan gue nangis gara-gara liat kelemahan gue."

Shelia semakin terisak, menangis kencang membuat Ken terkekeh melihatnya.

"Njir tambah kenceng. Cengeng lo."

Shelia mengabaikan ledekan Ken dan kembali memapah Ken. Begitu sampai di parkiran, Shelia melepas rangkulan Ken perlahan. Dalam diam, Shelia mengambil helm Ken dan memakaikan pada si empunya, sementara dirinya mengenakan helm abu-abu yang selalu pemuda itu bawa untuk sepupunya, Adel.

Shelia menaiki motor Ken, memegang setir motor kemudian mengulurkan tangannya. "Kuncinya."

Ken terkekeh, menyerahkan kunci motornya pada Shelia yang segera menyalakan motor hitam milik Ken.

"Ayo buruan naik."

Ken menaikkan alisnya. "Yakin bisa bawa motor?"

"Lo ngeremehin gue?!" Shelia menatap Ken sinis, yang dibalas dengan tawa.

"Percaya deh, yang mantan anak motor." Shelia mendengus, tak menghiraukan perkataan Ken dan membantu pemuda itu untuk duduk di belakangnya.

"Udah?" Ken mengulurkan jempolnya lalu berpegangan di bahu kiri Shelia, dan motor hitam itu pun melaju dengan kecepatan sedang menuju rumah sakit.

***

AURIGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang