Aksa kembali.
Adel yang tadinya duduk memeluk lutut sembari terus berdoa pun beranjak. Memandangi Aksa yang kembali tidak dengan tangan kosong, ada sebuah tas, tikar, juga sekantong kresek hitam di tangannya.
"Ini buat apaan?" Adel mengambil tas yang Aksa berikan. Ternyata itu adalah tenda dome.
"Kita bermalam disini. Sekarang bantu diriin tendanya, ya."
Adel terkejut mendengarnya. "Tidur sini? Gak! Yang bener aja. Lo beneran udah gak waras, Sa! Gue mau balik ke perkemahan sekarang." tegas Adel.
Aksa menaruh kresek hitam di dekat pohon seraya menghela napas lelah. "Ini demi kebaikan lo, Del. Jadi nurut sama gue."
Adel mendelik. "Kebaikan lo atau kebaikan gue? Lo pasti mau macem-macem kan?? Ngaku!" tudingnya.
Aksa mendengus, capek juga berhadapan dengan gadis bawel ini. "Macem-macem apasih. Gue gak akan ngapa-ngapain lo. Tenang aja."
"Idih, gue gak semudah itu percaya omongan lo, ya." gadis itu melipat tangannya depan dada.
Aksa melengos, tak peduli dengan penolakan Adel dan mulai berdirikan tenda. "Ya terserah lo mau percaya atau gak. Tapi kalo lo minta gue untuk balik ke perkemahan, gue gak mau."
Adel berdecih. "Gue bisa balik sendiri!"
Aksa menaikkan alis sambil menatap Adel, menghentikan sejenak kegiatannya."Iya? Emang lo apal jalan?"
Aksa terkekeh meremehkan.
Adel terdiam, benar juga. Adel mana apal. Tadi saja harus melihat petunjuk. Dan sekarang ponselnya lowbat.
"Gue pinjem hp lo deh." Adel menjulurkan tangannya.
"Ogah."
"Ish, lo bener-bener!"
Aksa kembali melanjutkan kegiatannya. Kemudian mendongak menatap Adel jengah. "Udah sini bantuin, malah diliatin doang."
Adel berdecak dan membantu Aksa.
"Nanti kita bakal tidur setenda gitu?" tanya Adel, tangannya sibuk dengan tongkat-tongkat bongkar pasang yang kemudian dia berikan ke Aksa.
Aksa menggeleng disela-sela kegiatannya. "Gue tidur diluar pake tikar."
Adel menghembuskan napas lega mendengar itu. Tak berapa lama tenda pun jadi. Aksa mengambil kresek hitam tadi, duduk didepan tenda yang sudah digelar tikar dan membuka kresek itu. Adel hanya duduk diam di depan Aksa sembari memerhatikan.
Aksa mengeluarkan sesuatu yang ternyata 2 kotak makan dan memberikan salah satunya pada Adel.
"Makan." Adel menerimanya dan membuka kotak itu. Terdapat nasi goreng di dalamnya.
"Jadi lo tadi pergi untuk ngambil semua ini? Lo dapet darimana?"
Aksa menguyah nasi goreng itu sejenak. "Lo gak perlu tau. Intinya kita disini aman. Sekarang makan itu dulu, abis itu tidur."
Adel terdiam dan mulai memakan nasi gorengnya. Otaknya bekerja memikirkan semua kelakuan Aksa. Tidak mungkin Aksa melakukan ini tanpa alasan, hanya saja Aksa tidak mau memberitahunya.
Kalimat Aksa terus terngiang dikepalanya.
'Intinya kita disini aman'.
Aman? Aman dari apa? Apa ada sesuatu yang akan mencelakai mereka bila mereka tetap melanjutkan perjalanan?
Adel semakin tidak mengerti dengan jalan pikiran Aksa. Sejak awal Adel memang merasa ada yang tidak beres dengan pemuda ini.
***
Adel dan Aksa masih tidak bisa ditemukan hingga pagi ini. Semua kebingungan ikut membantu mencari, namun tetap tidak ada yang berhasil menemukan.
Lya terus menghela napas. Terdiam menatap Satya yang tertidur pulas. Tadi malam Satya sempat tumbang, namun kembali sadar dan memaksakan dirinya mencari keberadaan adik bungsunya. Dan subuh tadi, Satya kembali dengan keadaan pucat, dan tertidur hingga sekarang.
"Semoga Adel baik-baik aja." Lya tak hentinya merapalkan doa kepada Tuhan untuk memberi perlindungan pada adik perempuannya.
"YA! Adel udah balik!" ucap Reisya dengan ngos-ngosan karena berlari dari tempat Adel ditemukan menuju tenda panitia. Lya, Ken, Nevan yang ada di tenda panitia pun segera mengikuti Reisya. Begitu pula dengan Satya yang langsung terbangun dan mengikuti.
Lya segera berlari memeluk Adel, ia menangis lega Adel kembali dengan keadaan selamat.
Ken, Nevan, dan Satya pun mendekat. Pandangan mereka langsung terjatuh pada seorang pemuda berhoodie abu-abu yang berdiri di sebelah Adel.
Ken menatap Aksa tajam. Tanpa kata menarik tangannya dan membawanya ke belakang kamar mandi diikuti oleh Nevan. Aksa sendiri hanya bisa mendesah pasrah, ia tahu hal ini pasti terjadi, dan Aksa siap mendapat pelajaran dari kedua kakak laki-laki Adel.
Kembali ke Adel. Gadis itu sedari tadi menunduk, tidak berani membalas tatapan Satya. Ia tahu abangnya itu tengah menahan amarah sekarang.
Adel menarik napas dan menghembuskannya perlahan, memberanikan diri untuk berucap. "Ndarru minta maaf udah buat semuanya panik."
Lya mengurai pelukannya dan mengusap bahu Adel. Menatap Adel cemas. "Yang penting kamu baik-baik aja. Kamu gak diapa-apain sama cowok itu kan, Ru?"
Adel menggeleng tegas, menatap Lya dengan sorot mata teduhnya. "Aksa justru yang jagain Ndarru kok, teh."
Satya yang memerhatikan interaksi keduanya pun melengos keras. Ia beralih memandang Faldi yang diam saja bersama Reisya. Sepertinya mereka berdualah yang menemukan Adel.
"Di, gue minta tolong bawa dia pulang sekarang, barang-barangnya biar gue yang urus." titah Satya seraya menunjuk Adel. Satya kemudian berbalik pergi mengusul Ken dan Nevan yang sedang memberi Aksa sedikit pelajaran.
Adel menghela napas, rasanya ingin menangis. Satya pastinya kecewa, bahkan enggan menyebut namanya. Itu membuktikan bahwa kakaknya itu benar-benar marah padanya.
Lya mengusap lengan Adel menenangkan. "Udah, nurut sama abang."
Lya menatap Faldi, pemuda itu mengangguk mengerti dan menarik tangan Adel membawanya ke mobil untuk pulang ke kota.
***
Jangan lupa vote dan comment!
KAMU SEDANG MEMBACA
AURIGA
Подростковая литератураMungkin Adel termasuk gadis beruntung di dunia ini, memiliki keempat sepupu yang begitu menyayanginya. Satu sekolah menyebut mereka, Auriga. Setiap keinginan selalu Adel dapatkan dengan mudahnya, namun ada satu yang sulit Adel wujudkan, kasih sayan...