Acara kembali dilanjutkan. Suasana yang tadinya tegang kini berangsur membaik, meskipun masih ada keresahan mencemaskan keadaan Adel.
Adel baru saja kembali dari rumah sakit. Sebenarnya setelah tangannya dijahit, Adel harus menetap di rumah sakit untuk diinfus. Namun anak itu kembali berontak ingin pulang, alhasil Shinta menginfus Adel di rumah, untung saja Adel tidak menolak.
Kini, Adel terlelap di atas tempat tidur Lya. Deru napasnya yang hangat begitu lemah. Tadi suhu tubuhnya juga sempat meninggi, namun sudah sedikit menurun sekarang.
Adel tidur ditemani keempat Auriga ditambah seorang pemuda seumuran Ken yang merupakan sepupu mereka, Farash, salah satu cucu Robbi. Dia tidak mendapatkan nama Auriga di belakang namanya karena nama itu didapat dari Dendra--kakak ipar kakeknya.
Lya duduk di samping Adel sembari mengusapi kening hangat gadis itu lembut. Satya dan Nevan duduk di sofa coklat kamar Lya yang letaknya di sebelah kiri kasur, sedangkan Ken dan Farash menduduki sisi kasur yang menyisakan tempat.
"Om Andra gak coba dihubungi lagi?" ucap Farash pelan. Ia memandangi wajah pucat Adel dengan sendu. Sedih rasanya melihat gadis yang biasanya ceria dan bawel itu kini terbaring lemas dengan infus di tangan kanannya.
Farash ini tinggal di Bandung. Sebenarnya pemuda itu ingin ikut tinggal bersama kelima Auriga, namun ibunya tidak mengizinkan, khawatir Farash malah merepotkan.
"Udah berkali-kali. Tapi gak diangkat." jawab Satya singkat. Satya membuka ponselnya lagi, melihat chatnya yang masih saja belum mendapat balasan, bahkan dibaca saja tidak. Tangannya terkepal, kalau saja pria itu bukan omnya, bisa dipastikan Satya akan mendatangi pria itu dan menghabisinya.
Kelima remaja itu kembali menghela napas.
"Nanti kalau Ndarru bangun, jangan ada yang tatap dia dengan tatapan kasihan atau iba. Kalian harus biasa aja. Sesuai kata bunda tadi." tutur Lya mengingatkan kembali amanat Shinta.
Ken yang sedari tadi diam pun mendongak. "Lo tadi bisikin apa ke Ru sampe dia berhenti berontak gitu?" tanyanya pada Nevan. Nevan yang sedang bersandar di sofa dengan mata terpejam pun membuka mata serta membenarkan duduknya untuk lebih tegak.
"Gue bilang, kalau dia terus bertingkah gitu mamanya akan marah dan gak mau lagi ketemu dia."
Farash serta Ken mengangguk-angguk paham, sedangkan Lya dan Satya diam saja menyimak, nampak sibuk dengan pikiran masing-masing.
Hening seketika. Sampai sebuah lenguhan kecil terdengar membuat mereka tersentak dan memusatkan pandangan ke Adel. Gadis berwajah manis namun pucat itu mengerjap perlahan, sedikit mengernyit karena pusing yang langsung menyerang kepalanya bertubi-tubi hingga telinganys berdengung. Adel harus memejamkan matanya untuk beberapa waktu agar pusing itu mereda meskipun tidak sepenuhnya menghilang.
Semua hanya diam memperhatikan, Lya pun memijat pelan kepala Adel sambil terus memperhatikannya yang menutup mata rapat. Lya yakin Adel sedang menahan sakit, terlihat dari kerutan di keningnya, membuat usapannya beralih ke kening Adel.
Tak berapa lama Adel membuka matanya, dengan sayu ia menatap 5 orang itu. Kemudian sorot matanya berpindah ke tangan kirinya yang diperban.
Adel menahan napas, merapatkan bibirnya menahan tangis. Tangan kanannya mengepal kuat, membuat Farash yang melihat itu menggenggamnya dan mengurai kepalan tangan itu. Karena bisa-bisa infusnya akan keluar darah.
"Maaf." ucap Adel sangat lirih. Pandangannya kosong, setetes air mata keluar dari sudut matanya.
Rasa bersalah kembali menggerogoti hatinya, ia pasti sudah merepotkan mereka lagi. Gara-gara Adel mereka yang harus ada disini menemaninya, semestinya saat ini mereka berada di bawah berkumpul bersama melepas rindu dengan seluruh keluarga besar.

KAMU SEDANG MEMBACA
AURIGA
Genç KurguMungkin Adel termasuk gadis beruntung di dunia ini, memiliki keempat sepupu yang begitu menyayanginya. Satu sekolah menyebut mereka, Auriga. Setiap keinginan selalu Adel dapatkan dengan mudahnya, namun ada satu yang sulit Adel wujudkan, kasih sayan...