Malam itu juga setelah balik dari mengantar Reisya pulang, Satya mendapat ledekan dari keempat sepupunya. Saat ditanya udah resmi atau belum, Satya hanya mendengus dan menjawab tidak dengan nada datar. Membuat mereka semakin meledeknya sebagai lelaki penggantung. Karena kejadian malam itu pula, Adel yang dulu pun kembali. Tertawa riang dan ikut mengusili.Mungkin benar kata Aksa sebelum pulang tadi. Adel hanya perlu menerima dan belajar. Karena sejatinya semua akan indah jika dibarengi dengan senyuman.
Mengantuk, Adel pun pamit ke kamarnya. Saat pintu kamar ia tutup dari dalam, tiba-tiba terdengar dering ponsel yang ada di atas nakas. Adel mengambilnya, duduk bersandar di ranjang sembari memangku bantal. Adel menjadi ragu untuk mengangkat begitu tahu siapa yang penelponnya. Namun ia mencoba menguatkan hati, bersiap bila saja akan mendapat kekecewaan lagi.
"Assalamualaikum." ucap seseorang di seberang sana begitu Adel mengangkat telpon.
"Waalaikumsalam."
"Belum tidur?"
"Belum." jawab Adel singkat. Ia menundukkan kepala memainkan ujung bantal.
"Kamu udah sembuh, kan?"
"Iya."
"Tadi juga sekolah?"
"Iya."
Hening untuk beberapa saat. Adel dapat mendengar helaan napas di ujung sana.
"Ru... marah sama papa?"
Tanpa sadar Adel menggigit bibir bawahnya begitu mendengar nada suara Papa yang merendah. Napasnya mendadak sesak hanya karena pertanyaan itu.
"Kenapa papa nanya gitu?" cicitnya.
Bukannya mendapat jawaban, justru pertanyaan kembali terlempar. Membuat Adel semakin kesulitan menjawab.
"Papa udah kecewain Ru, ya?"
Adel menutup bibirnya rapat. Ia hanya mengangguk meski tahu Papa tidak akan bisa melihatnya.
"Maafin papa. Sebut saja papa pengecut karena baru sekarang berani meminta maaf setelah papa kecewain kamu malam itu."
Adel masih diam. Memori malam itu kembali terulang di ingatannya. Tangan kirinya yang bebas terkepal kuat, berusaha menahan air matanya untuk tidak menetes.
"Papa tahu, gak seharusnya papa salahkan kamu atas meninggalnya mama. Papa cuma, belum bisa menerima semuanya."
Napas Adel tercekat. Ingatannya berganti, seakan memutarkan video saat Adel harus melihat jenazah mamanya terbujur kaku di ruang tamu. Hatinya hampa seketika, itu pertama kalinya Adel merasakan semua dalam dirinya hilang. Mama yang menjadi malaikatnya sudah kembali ke surga dan meninggalkannya sendiri. Dan saat itu pula, Papa tiba-tiba saja membentaknya, mengatakan bahwa Adel lah yang bersalah. Bahwa Adel merupakan penyebab Radilla meninggal.
"Sakit rasanya, Pa. Kalo papa belum bisa menerima semua, kenapa mau nikah lagi?" berusaha keras Adel menormalkan suaranya agar tidak terdengar gemetar.
Lagi-lagi Papa menghela napas berat. "Papa tidak seperti orang diluar sana yang bisa menjadi papa juga menjadi mama buat kamu. Papa pengin kamu merasakan sosok ibu."
"Papa menyesal. Sangat menyesal sudah mengabaikan kamu selama ini, Papa juga dengan bodohnya malah menyalahkan kamu, padahal kamu tidak bersalah sama sekali. Maafkan Papa."
"Maaf juga Papa baru kasih tahu kamu malam itu. Alasan Papa ingin nikah lagi untuk menebus kesalahan Papa, Papa mau Adel mendapat kasih sayang ibu lagi meskipun bukan dari Mama Radilla, tolong bantu Papa untuk menghilangkan rasa bersalah ini, sayang."

KAMU SEDANG MEMBACA
AURIGA
Ficțiune adolescențiMungkin Adel termasuk gadis beruntung di dunia ini, memiliki keempat sepupu yang begitu menyayanginya. Satu sekolah menyebut mereka, Auriga. Setiap keinginan selalu Adel dapatkan dengan mudahnya, namun ada satu yang sulit Adel wujudkan, kasih sayan...