23. Sekadar pion

5.6K 418 14
                                    

Adel berjalan cepat menuju gedung kelas 10. Melewati derasnya hujan tak peduli sepatunya yang akan basah terkena genangan air. Hal itu disebabkan karena ia baru ingat kalau belum mengerjakan tugas. Bisa dihukum dia kalau tidak mengerjakan, guru mata pelajaran itu lumayan killer. Adel pernah lihat ada siswa yang dihukum guru itu membersihkan perpustakaan karena tidak membawa buku ketika pelajarannya.

Adel seketika bergidik ngeri membayangkan hukuman apa yang akan ia dapat kalau tidak menyelesaikan tugas.

Begitu sampai di gedung kelas 10, Adel segera menutup payung dan berlari menuju kelasnya. Ia memasuki kelas yang sudah lumayan ramai, dengan tidak sabaran gadis itu menduduki bangkunya.

"Sa, gue liat tugas sejarah dong." kata Adel cepat tanpa menatap lawan bicaranya. Ia sibuk mengambil buku dan bolpoinnya dari dalam tas. Ia bahkan tak menyadari tadi sempat menjadi pusat perhatian seluruh teman kelasnya.

Aksa yang duduk di sebelah Adel tengah memandang gadis aneh itu pun lantas memberikan buku tulisnya.

Dengan kekuatan menulis cepat, Adel segera menyalin tugas sebelum bel masuk berbunyi.

"Ciee, pasangan sebangku yang abis ilang di hutan berduaan." celetuk Aldo teman sekelas mereka yang duduk di bangku belakang.

Adel tak memusingkan ucapan Aldo yang tidak bermanfaat, ia harus cepat-cepat menyelesaikan tugasnya.

Sementara Aksa tak acuh dengan itu dan kembali memainkan ponselnya.

Hanya butuh waktu 10 menit Adel selesai menyalin tugasnya. Ia menyelesaikan tugasnya bertepatan dengan bel masuk berbunyi.

Adel berhembus lega dan mengembalikan buku tugas itu pada pemiliknya. "Makasih banyak ya, Sa. Gue jadi terbebas dari hukuman."

Aksa yang sedang bermain ponsel lantas mengangguk. "Harusnya gak usah ngerjain buru-buru gitu, orangnya aja gak masuk ada halangan."

Adel seketika ternganga mendengar itu. Rasanya benar-benar menyakitkan sampai ke dalam hatinya. Oke, sepertinya Adel terlalu berlebihan.

Adel berdecak. "Percuma dong! Tangan gue sampe kriting gini lo baru bilangnya sekarang!" omelnya sembari mengibas-ngibaskan tangan kanannya.

Aksa mendelik kecil dan berdecih.

"Alay."

"Bodo."

Aksa tak menanggapi lagi, memilih melanjutkan gamenya daripada harus berdebat dengan Adel yang jelas tidak akan ada ujungnya kalau salah satu tidak mengalah. Dan pasti bukan Adel yang akan mengalah.

Merasa diacuhkan, Adel mendengus dan menyapukan pandangan sekeliling kelas. Memerhatikan keributan apa saja yang terjadi di kelas ini. Entahlah, rasanya tiada hari tanpa kebisingan. Kelas ini akan dianggap aneh bila sehari saja seluruh anggota kelas mendadak kalem.

"Emang ya, di kelas ini yang kalem cuma gue." celetuk Adel yang hanya bisa didengar Aksa. Refleks pemuda itu menoleh memandanginya aneh.

"Kalem dimananya." gumam Aksa tak habis pikir. Adel menoleh dan menyentil telinga Aksa.

"Gue denger ya!"

Aksa menaruh ponselnya di atas meja sembari mengusap telinganya yang menjadi korban kekejaman Adel.

"Lagian lo boong banget bilang diri lo kalem."

"Emang gue kalem!"

Aksa tertawa paksa dengan muka datar.

"Ish, gak percayaan banget!" jengkel Adel melipat tangannya depan dada.

"Liat, apa kayak gitu bisa dibilang kalem, hm?" Aksa menaikkan alisnya menantang.

Adel mendesis kemudian membuang muka. "Dah ah males, muka lo rasanya pen gue tabok tapi gak tega luka semua."

"Gara-gara abang lo nih."

"Kalo gak gara-gara lo juga gak bakal gitu tuh muka."

"Dan kalo gak gara-gara jeba--"

Tak tahan Adel pun membekap mulut Aksa. "Lo bawel banget sih, Sa. Ini nih, keluar watak aslinya. Awal kenal aja sok dingin, cuek. Cuih, padahal mah bacot juga."

Aksa mencibir, mengulurkan tangannya mengacak rambut Adel. "Gue bawel ke lo doang. Karena lo juga bawel ke gue."

"Emang harus bawel dibales bawel?"

"Hm."

"Yaudah gue jadi kalem aja!"

"Gak pantes, Del. Jadi jelek lo nya."

"Ih lo tuh mana ada kek gitu!" Adel tak tahan untuk tidak melayangkan tabokan di lengan Aksa. Tak tahu saja dia lengan Aksa masih memar karena pelajaran dari saudara gadis itu kemarin.

"Sakit, Del!" Aksa mendelik dan menggenggam tangan Adel untuk berhenti memberi serangan padanya.

"Alah lebay lo gitu aja sakit."

"Kalo gak lagi memar gak akan sakit!"

Adel tertegun menaikkan kedua alisnya. "Emang lengan lo memar?" Tangannya bergerak menaikkan kemeja sekolah Aksa, ia membelalak begitu melihat memar yang membiru dan sedikit bengkak itu. Seketika rasa bersalah itu kembali muncul.

"Duh duh, maafin gue gak tau. Lo sih gak bilang." Tangannya dengan lembut mengelus lengan Aksa terus-menerus.

"Lo nya tiba-tiba nabok." balas Aksa datar. Pemuda itu memandang Adel lekat, diam saja menerima usapan Adel. Lebih tepatnya menikmati.

"Maaf ya, abang-abang gue buat lo sakit gini." kalimat yang dari tadi Adel tahan pun terucap. Tadinya dia gengsi untuk mengatakan itu. Namun sudahlah, tidak baik terlalu mementingkan ego.

Aksa mengangguk. Tubuhnya bersandar pada kursi, dengan lengan kanan yang dipijat Adel perlahan. "Yang penting lo baik-baik aja."

Adel terdiam mendengar itu, tangannya berhenti mengusap lengan Aksa beralih memainkan jemarinya sendiri.

Adel lantas mendongak, tatapan matanya bertubrukan dengan tatapan teduh yang Aksa berikan. "Kenapa dia ngincer gue, Sa? Gue pernah ada salah ke dia?"

Hening sejenak, kemudian Aksa menggeleng kecil. "Lo hanya pion buat narik perhatian. Ini masih awal rencananya, Del. Ada waktunya dia akan berhadapan langsung dengan objek utama."
























"Siapa?"








































"Abang tertua lo."

***

Jangan lupa vote dan komen^-^

AURIGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang