"Bekalnya udah masuk tas 'kan, Ru? Tempat pensilmu gak ketinggalan, 'kan? Buku-bukumu udah kamu bawa semua 'kan?"Adel mendengus. Tidak ada mama, teh Lya pun jadi.
"Iya, Ndaya, Iyaaaa," ujar Adel mencoba bersabar.
"Ish kamu tuh, dibilangin gitu terus!"
"Ya terus Ndarru harus gimana Ndaya???"
Ndaya itu akronimnya Bunda Lya. Karena Lya sama cerewetnya dengan Bunda Shinta, bundanya Satya.
"Pokoknya harus nurut, jangan bandel!"
"Iyaa, teh, iyaaa."
Satya terkekeh melihat Adel merengut memainkan tali tasnya. Tangannya terangkat mengacak puncak kepala Adel sambil tertawa gemas.
"Makanya jangan nakal terus. Janji gak ada point di BK, ya?"
Adel berdesis sebal menepis tangan Satya. Ia kembali cemberut. "Gak, gak janji."
"Oh, masih mau bandel terus?"
"Ih, abang mah.. Kata kak Ken, gak bandel pas SMA itu kayak makan ciki tanpa micin. Ham-bar." Adel mengeja huruf terakhir dengan muka sok pintarnya, membuat Nevan yang sejak tadi diam mendengus geli.
Yang merasa namanya dibawa-bawa pun menoyor kepala Adel gemas. "Gue gak ada bilang gitu ya! Mulut lo lemes banget dah,"
"Lah, masa iya?" Adel mengerjap beberapa kali dengan tatapan yang dibuat sepolos mungkin. Ken maju dan mencubit pipi Adel geram.
"Lo tuh sehari gak bikin masalah bisa?!"
"WEH, AURIGA! Formasi lengkap nih," seseorang tiba-tiba berseru memanggil marga mereka. Seketika pertengkaran dua remaja itu berhenti.
"Lah? Bang Fal!" Adel berucap semangat meskipun pipinya cenut-cenut akibat dicubit Ken. Ia melambaikan tangannya menyuruh pemuda yang ia panggil bang Fal itu mendekat.
"Buset.. makin ganteng. Masih bersaing banyak-banyakan pacar sama Keken, ya?"
Keken itu panggilan Adel untuk Ken. Adel memang suka mengganti-ganti nama orang sesuka hatinya.
"Udah nggak 'lah. Tobat kali," Faldi terkekeh kecil.
Faldi mengangkat telapak tangannya ke udara. "Tos dulu dong adeknya abang!" Adel bertos-ria dengan Faldi. Diikuti Satya, Ken, juga Nevan.
"Gimana Singapore? Mama lo apa kabar?" tanya Satya akrab. Faldi itu temen Satya dari kecil. Membuat pemuda itu juga mengenal saudara-saudara Satya.
"Gitu-gitu aja. Mama? Baik kok. Dia juga nitipin oleh-oleh buat kalian. Ada di kelas entar gue kasih." Faldi tersenyum hangat, membuat lesung pipinya terlihat.
"Mantab, bang. Sabi 'lah bagi kontak temen lo di Singapore. Ye, gak?" ujar Ken menyeringai buaya. Faldi memutar bola mata jengah.
"Tobat dong, Ken, kek gue. Fokusnya sama satu cewek aja, entar kalo dia bener-bener gak mau, cari ganti. Ye gak, ye gak?" Faldi menaik-turunkan alisnya ikut menyeringai.
"Yeeee, buaya!" Satya menoyor kepala dua remaja itu geram. Adel jelas tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, ia ikut menoyor, tapi hanya kepada Ken. Karena Adel masih dendam tadi pipinya panas ditarik-tarik.
"Ih, udah-udah. Ru, kamu udah tau 'kan kelasmu dimana?" tanya Lya.
"Lantai dua 'kan? X MIPA 2? Bisa kok aku nyari sendiri."
Nevan mengernyit ragu. "Yakin bisa? Mending sama kakak aja di ruang osis, lagian setelah ini ada upacara pembukaan."
"Gak mau ah, aku kelas aja dulu. Entar gak kebagian bangku belakang. Eh.." Adel spontan membekap mulutnya sendiri keceplosan.
"Oh, ngincer bangku belakang biar bisa tidur pas pelajaran? Pintar sekali Viandarru.." Satya mengangguk-angguk paham. Ia tersenyum simpul menatap Adel, dari tatapannya tidak ada keramahan sekali.
Adel refleks meneguk ludahnya takut.
"Oke." Satya melipat tangannya depan dada, tetap dengan senyum simpulnya yang bagi Adel itu justru menyeramkan.
Satya melirik Adel, lalu menatap Nevan. "Van, nanti cek kelas Ndarru, kalo sampe dia gak duduk di depan, kita satu bulan penuh makan salad dan sayur-sayuran. Oke 'kan?"
Adel mendelik tak terima, Ken langsung mendorong bahu Adel sampai gadis itu terjengkang. Untung saja Faldi dengan sigap menangkapnya. Adel kembali berdiri tegak dan menendang tulang kering Ken kesal.
"Aw!"
"Kalo aku jatoh tadi gimana, ha?!" Adel berkacak pinggang menatap Ken murka.
Ken mencibir, menatap Adel sinis sambil mengelus kakinya yang menjadi korban tendangan gadis galak itu. "Awas aja lo gak duduk di depan, Ichi gue buang ke hutan!"
"Berani, ya!"
"Ngapain juga gak berani?!"
"Awas aja. Bisa-bisa mobil Keken gak mulus lagi!"
"Oh, berani?"
"Kenapa juga gak berani?!"
Satya mengusap wajahnya gusar. Lelah sendiri melihat kedua adiknya berantem terus.
"Udah-udah! Ru, sana ke kelas! Harus. Duduk. Depan." Satya menekan tiga kata itu, membuat Adel menghembuskan napas pasrah.
Satya beralih menatap Ken, "Dan, lo. Harus terima risiko. Anggap aja makan sayur satu bulan itu hukuman karena mau aja nganter Ndarru beli gorengan, dan lo juga ikut beli."
Ken membuka mulutnya hendak menolak, tapi 5 detik setelahnya Ken menutup mulutnya. Dia kehilangan kata-kata, apa yang Satya katakan memang benar.
"Hm." Alhasil hanya deheman yang dia lontarkan.
Ken melangkahkan kakinya hendak ke kelas, tapi saat melewati Adel, tangannya terangkat menoyor kepala gadis itu singkat, lalu kembali melangkah cepat sebelum Adel membalasnya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
AURIGA
Fiksi RemajaMungkin Adel termasuk gadis beruntung di dunia ini, memiliki keempat sepupu yang begitu menyayanginya. Satu sekolah menyebut mereka, Auriga. Setiap keinginan selalu Adel dapatkan dengan mudahnya, namun ada satu yang sulit Adel wujudkan, kasih sayan...