10. Berusaha memahami

7.6K 479 6
                                    

Bel masuk berbunyi. Semua siswa-siswi segera masuk ke kelas masing-masing sebelum guru piket mengomel dan menggusur mereka.

Adel sudah duduk anteng di bangkunya. Ia menyangga kepalanya dengan tangan kiri, berusaha menahan kantuk yang sedari tadi memaksanya untuk masuk ke dunia mimpi.

Tiga kakak OSIS pendamping kelas itu masuk dan berdiri di depan. Satu di antaranya maju selangkah dan memberikan informasi.

"Untuk hari ini agendanya mengenal lingkungan sekitar sekolah. Silahkan  membentuk kelompok, tiap kelompok 4 orang. Saya tunggu 5 menit setelah itu kita langsung berkeliling sekolah. Paham?"

"Siap, paham!" ujar satu kelas berbarengan.

Semua langsung berhambur, sibuk memilih teman kelompoknya.

Ya, memilih. Karena pasti yang mereka cari adalah teman kelompok yang asyik dan pintar.

Adel sendiri tidak mau ribet, ia masih bertahan di posisinya tanpa berniat mencari kelompok, tinggal menunggu ada kelompok yang mengajaknya gabung.

"Adel?"

"Hm?" mata Adel yang hampir terpejam seketika terbuka ketika seseorang memanggil namanya. Gadis itu mengubah posisi menjadi duduk tegap, menyipitkan mata menatap gadis berambut panjang di hadapannya, masih dengan jiwa yang setengah sadar.

"Lo mau ngajak gue jadi kelompok lo?" tanya Adel langsung. Gadis dihadapannya lantas mengangguk dan tersenyum.

Adel memiringkan kepalanya, ternyata ada orang lain dibalik gadis itu. Adel menunjuk pemuda itu dengan alis terangkat.

"Dia juga jadi kelompok kita?"

Gadis itu kembali mengangguk.

Adel melirik sebelahnya, memandang Aksa yang duduk ditempatnya anteng.

"Kelompok sama siapa lo?" Adel menepuk pundak Aksa, membuat pemuda yang tengah membaca buku itu menoleh ke arahnya.

"Leana."

"Leana siapa?"

"Depan lo." Aksa mengarahkan jarinya pada gadis yang masih setia berdiri menunggu pembicaraan mereka.

"Oh?" Adel beralih menatap Leana yang balas tersenyum kecil. "Sorry gue gak tau nama lo. Gue masih belum kenal anak sini." Adel meringis tak enak.

"Iya gak papa."

"Masih lama?" pemuda tinggi dengan wajah tampan di belakang Leana, yang sedari tadi diam pun mengeluarkan suaranya yang terdengar jengkel. Leana segera menyikut perutnya untuk lebih bersikap sopan.

"Kenalin, Del, dia Ravin." Leana menarik lengan Ravin untuk bersalaman dengan Adel. Pemuda itu menurut, mengulurkan tangannya yang segera disambut oleh Adel.

"Ravin, pacarnya Leana."

Mendengar itu, Leana sontak menginjak kaki Ravin kuat-kuat dan memberinya tatapan peringatan. Ravin meringis begitu Leana mengangkat kakinya.

"Aku salah apa, Na?!" Ravin mengusap kakinya merasa kesal.

"Diem!"

"Jahat kamu ya,"

"Vin, udah aku bilang diem, ya, diem!"

Kali ini keadaan berbalik, jadi Adel dan Aksa yang diam menunggu mereka berhenti bertengkar.

***

"He!"

Ken mendesis, mengepalkan tangannya emosi. Lagi-lagi Shelia menyenggol lengannya yang sedang menulis, mengakibatkan garis panjang membentang indah di bukunya.

"Mau lo apa sih, Shel?!"

Kesal, Ken pun membanting bolpoinnya hingga terjatuh ke lantai.

Ini sudah kesekian kali Shelia menganggunya. Sudah lebih dari 5 lembar kertas yang Ken sobek akibat coretan panjang di bukunya.

Shelia memundurkan badannya sambil menggidik seolah takut. Padahal menggoda Ken merupakan hiburan tersendiri baginya.

"Sante kali, bos. Entar gantengnya ilang loh." Shelia menaik-turunkan alisnya, membuat Ken semakin kesal.

"Sekali lagi ngeganggu, gak gue kasih contekan. Mau lo?" ancam Ken sambil mengarahkan telunjuknya tepat di depan hidung Shelia.

Shelia menatap Ken dengan mata menyipit. Ia mencibir dan menggigit telunjuk Ken dengan sadisnya.

"Akkh! Shel, gila lepasin geblek!"

Shelia baru menghentikan aksinya ketika Ken menarik pipinya. Gadis itu kembali mencibir dan mengubah posisi duduknya yang tadinya miring menjadi menghadap depan.

"Dih, kenapa jadi lo yang ngambek?!" Ken memegang jarinya sambil meringis kecil. Setelah lebih baik, Ken membungkuk memungut bolpoinnya. Ia kembali merobek lembaran di bukunya.

Bisa-bisa buku tulisnya akan semakin tipis jika terus dirobek begini.

Shelia meliriknya tajam, memutar bola mata kesal dan menatap papan tulis yang masih putih bersih.

"Apa sih lo? Mau gue congkel tuh mata?" ujar Ken sadis seraya terus memperhatikan Shelia yang dari awal pelajaran bersikap aneh, terlihat sensitif.

Menyerah, Shelia pun menghela napas. Ia menutup wajahnya, tak beberapa lama suara isakan terdengar, bahu Shelia juga bergetar seiring dengan tangisan yang semakin keras.

Ken jelas gelagapan, ia menyentuh pundak Shelia, secara naluri mengusapnya perlahan.

"Lo gak papa, Shel?" ucap Ken pelan. Apa perkataannya tadi menyakiti gadis ini?

"Gue contekin kok. Mana pernah lo gak gue kasih. Udah jangan nangis, jelek, gak pantes." Ken justru tanpa sadar melontarkan ejekan, membuat tangisan Shelia semakin keras.

"Aduh, Shel, udah dong. Entar semua pada ngira gue apa-apain lo. Diem-diem. Sstt." Ken menepuk-nepuk puncak kepala Shelia berusaha menenangkan.

Teman-teman sekelas yang tadinya sibuk mengerjakan tugas dari guru beralih memperhatikan mereka, yang sebagian besar hanya menggelengkan kepala wajar. Karena melihat pertengkaran Ken dan Shelia merupakan hal yang lumrah terjadi.

Shelia mengusap wajahnya yang basah karena air mata. Ken segera mengambil tisu yang selalu tersedia di tas dan menyodorkannya ke hadapan Shelia. Gadis itu menarik selembar dan menghapus sisa air matanya.

"Lo kenapa sih?" Ken kembali bertanya begitu keadaan Shelia mulai tenang.

Shelia menunduk, menahan untuk tidak menumpahkan tangisannya lagi.

"Apa salah, gue mencoba mencari perhatian?"

Ken mengernyit, tak paham dengan apa yang gadis itu katakan. Ia terus mengusap bahu Shelia sambil menunggu penjelasan Shelia.

"Gue cuma pengin diperhatiin. Itu aja kok, Ken." Shelia menunduk sambil berucap parau, diam-diam menikmati usapan Ken di bahunya.

Ah, Ken paham kemana pembicaraan gadis ini.

Ken mengangkat tangannya mengusap kepala Shelia lembut. "Mereka gak pulang lagi?"

Shelia membalas tatapan Ken, lantas menggeleng. "Bahkan mereka gak kasih gue kabar sedikit pun."

Gadis itu kembali menunduk dalam, "Apa gue gak penting?"

"Hush!" Ken mengacak rambut Shelia menegurnya. "Mereka gitu pasti ada alasannya. Jangan mikir yang enggak-enggak."

Shelia mengangguk patuh, menjauhkan tangan Ken dari kepalanya, lalu menenggelamkan kepala di lipatan tangannya.

Ken sendiri menghela napas sambil terus memperhatikan gadis cantik itu. Diam-diam memikirkan bagaimana keadaan hati Shelia sekarang. Yang pastinya akan menyesakkan.

***








AURIGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang