50. Pak Aksa

5.9K 481 86
                                    

Setelah kejadian mencemaskan sore itu, keadaan Adel yang sebelumnya mengkhawatirkan mulai membaik ketika malamnya. Arinda, yang merupakan seorang psikiater, berhasil menenangkan Adel saat setelah siuman dari pingsan kembali memberontak ingin melukai dirinya. Ini juga termasuk alasan Andra menikahi Arinda, Andra ingin Adel sembuh dari penyakit mentalnya melalui perantara Arinda.

Andra sangat menyesal dengan apa yang dia perbuat. Karena bentakannya di hari kematian mendiang sang istri, Adel mengidap mental ilness. Saat Andra tahu Adel suka melukai fisiknya, Andra dilanda penyesalan terdalam. Merasa tidak pantas disebut sebagai 'ayah'. Namun lagi-lagi, ego selalu mengendalikannya, terus meyakinkan dirinya bahwa Adel 'lah yang bersalah.

Tanpa disadari, Andra mengidap depresi berat akibat pertentangan antara hati dan egonya. Ia suka melamun dan merasakan sakit di dadanya sewaktu-waktu kenangan itu muncul tanpa diminta. Kenangan yang terus menghantuinya, membuatnya resah, gelisah, sehingga harus meminum obat penenang.

Keputusan Andra berpindah tempat ke Banten bukan hanya untuk mengurus perusahaan, namun juga menyembuhkan depresinya. Sampai akhirnya Andra bertemu Arinda, wanita yang menyadarkannya untuk berdamai dengan masa lalu. Menyadarkan Andra bahwa ini semua garis takdir yang ditulis Tuhan, manusia hanya mampu tabah dan mengikhlaskan.

Perlahan Andra luluh, tidak lagi mengabaikan Adel. Andra ingin kembali menjadi ayah sesungguhnya untuk Adel. Namun ternyata tidak semulus keinginannya, banyak rintangan seperti perusahaan yang terus dilanda masalah. Alhasil Andra tidak mempunyai waktu untuk Adel.

Dan setelah semua berangsur membaik, Andra mengawali semua rencananya dengan menikahi Arinda. Setelahnya Andra akan mengajak Adel tinggal bersamanya dan memperbaiki hubungan dengan putrinya itu.

Namun niat Andra tetap tidak berjalan sesuai rencana, keinginannya untuk menempati rumah lama, justru membuat penyakit Adel kembali kambuh seperti sekarang.

Andra tidak tega melihat putri kecilnya terbaring lemah dengan helaan napas pelan. Tadinya ia ingin kembali ke Banten dan akan membawa Adel jika seperti ini keadaannya, namun Arinda meyakinkan Andra untuk tidak gegabah, karena hal itu tidak akan menyelesaikan semua.

Cara tepat untuk memperbaiki masalah adalah dengan menghadapi masalah itu, bukan mengindar. Begitu kata Arinda.

Andra masih berada di kamar Adel memantau keadaan gadis itu, tidak peduli akan tubuhnya yang lelah karena baru pulang kerja. Melihat napas Adel mulai teratur, pria itu menjadi tenang.

"Terimakasih, Rin." ujar Andra di tengah keheningan kamar Adel. Arinda mengangguk kecil, pandangan matanya tidak lepas dari Adel sama halnya Andra juga Gio yang duduk di sisi kasur Adel.

"Mama harus bisa sembuhin Adel, bagaimana pun caranya. Gio gak tega liat luka-luka yang dia buat sendiri." sahut Gio pelan, ia beralih memperhatikan lengan kiri Adel yang dibalut perban. Hatinya seakan dicabik-cabik melihat keadaan Adel. Meskipun baru dekat dan hanya sebatas kakak tiri, Gio sudah menganggap Adel adik kandungnya. Naluri seorang kakak tumbuh begitu melihat sosok Adel di stasiun kala itu. Dan seperti kakak pada umumnya, Gio ingin menjaga dan melindungi Adel meski harus mengorbankan dirinya.

Arinda mengangguk lagi, mengulurkan tangan mengusap lembut kepala Adel penuh sayang. "Pasti. Adel pasti sembuh. Asalkan jangan pernah buat Adel ke kamar itu lagi. Papa harus kunci."

"Maaf, Papa kelupaan kemarin." pria berjas hitam itu menunduk dalam sembari menghela napas penuh sesal.

Arinda tersenyum tipis, memahami akan hal itu. Ia juga tahu suaminya masih belum bisa lupa akan kenangan bersama istrinya dulu, pria itu setiap malam kerap kali memasuki kamar utama. Dan Arinda tidak mampu untuk marah, tidak berhak memaksa karena hati seseorang memang sangat sulit untuk dikendalikan. Dulu pun ia mengalami masa terpuruk dan sulit mengikhlaskan semuanya ketika ayah Gio meninggal.

AURIGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang